Minggu, 02 November 2008

Yesus dalam Quran

Karya Geoffrey Parrinder

Buku ini ditulis untuk mendorong studi, pengujian diri, dialog, dan penelitian lebih jauh terhadap kitab Injil. Pengenalan yang lebih luas terhadap kitab-kitab suci merupakan salah satu langkah yang harus ditempuh. Dengan demikian, pemahaman dan rekonsiliasi lebih berkembang. Bagi mereka yang ingin meneliti arti pentingnya Yesus dalam Quran, pengetahuan mengenai Bible adalah esensial.
Yesus tidak sekedar figur masa lalu, yang hanya bermakna dalam lingkungan tradisi yahudi, tetapi lebih dari itu, sebuah universalitas muncul dalam Bible sebagaimana ditunjukkan dalam Quran. Quran menyebut Yesus sebagai "sebuah tanda bagi alam semesta" (21:91), keluarganya terpilih "melebihi semua manusia di dunia (3:33) dan dia sendiri diutus "untuk Kami jadikan tanda bagi manusia" (19:21).

Judul Asli:
Jesus in the Quran
by Geoffrey Parrinder
Penerjemah:
Ali Masrur, Agusni Yahya, Zulkarnaini

Cetakan:
Pertama, September 2002
Dimensi:
Lebar x panjang: ± 12,1 cm x 19,1 cm
Tebal: ± 1,3 cm (viii + 291 halaman)
Harga:
± Rp. 10.000,00

Penerbit:
Bintang Cemerlang
Celeban UH III/631, Yogyakarta
Telp. (0274) 373 365

Minggu, 26 Oktober 2008

Prinsip Epistemologi Qurani (Upaya Reintegrasi Ilmu Ilmu Agama dan Umum)

Pendahuluan
Menyambut kemungkinan perubahan IAIN Bandung menjadi UIN Bandung, tampaknya memang perlu dan bahkan harus dilakukan diskusi-diskusi dan kajian-kajian serius tentang upaya-upaya penyatuan kembali ilmu agama dan ilmu umum. Hal ini perlu dilaksanakan agar perubahan IAIN menjadi UIN bukan hanya perubahan nama, tetapi lebih dari itu, ia merupakan perubahan paradigma keilmuan yang hendak ditawarkan kepada masyarakat untuk dikembangkan di UIN di masa depan. Disadari atau tidak pemisahan ilmu agama dan ilmu umum ikut andil dalam proses pemisahan agama dari berbagai aspek kehidupan. Agama seolah menjadi milik kyai dan santri; agama menjadi bahan ceramah di masjid dan majlis taklim, tetapi dunia di luar itu, bergerak terlalu cepat dan pesat meninggalkan para kyai dan santri. Agama akhirnya menjadi ritual tanpa makna (meaningless), karena tidak mampu lagi menggerakkan nurani pemeluknya. Pada gilirannya, agama tidak mampu lagi mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Mengapa semua ini terjadi? salah satu sebabnya adalah karena proses pemisahan agama dari kehidupan masyarakat kita telah terjadi selama berpuluh-puluh tahun. Mungkinkah proses ini dihentikan? Konon, Napoleon pernah mengatakan, tidak ada sesuatu yang mustahil dicapai di dunia ini, tetapi tidak ada sesuatu yang mudah diraih di dunia ini. Demi menyatukan ilmu agama dan umum itulah, tulisan ini sedikit mengungkap bagaimana pandangan Alquran tentang Epistemologi.

Tiga Sarana Memperoleh Pengetahuan
Ada tiga daya, menurut Alquran, yang dapat dipakai sebagai sarana untuk memahami kebenaran. Tiga daya itu adalah pikiran (al-fikr), akal (al-'aql) dan nurani (al-qalb, al-af`idah). Ketiga daya ini dipakai dalam konteks dan kapasitas yang berbeda, tetapi saling melengkapi dan dapat mengarah ke transendensi.

Proses pemahaman dengan menggunkan daya pikiran (al-fikr) terdapat dalam kurang lebih 16 ayat Alquran yang kesemuanya dipakai dalam kontkes alam dan manusia dalam dimensi fisiknya. Sedangkan yang memakai kata 'aql terdapat dalam kurang lebih 49 ayat, yang digunakan dalam konteks yang lebih luas, dan berkaitan dengan hal-hal yang bersifat konkret, material, spiritual, maupun yang bersifat ghaib. Adapun yang memakai kata al-qalb terdapat dalam kurang lebih 101 ayat yang pada umumnya dipakai dalam kaitannya dengan hal-hal ghaib dan spiritual saja.

Dengan demikian, baik sarana yang dipakai untuk mencapai kebenaran maupun kebenarannya sendiri itu berjenjang. Pertama, kebenaran yang berkaitan dengan hal-hal yang fisikal dan material saja, sebuah kebenaran yang dapat dipahami dan dikuasai dengan ratio; kedua, kebenaran berdimensi ganda, yaitu material dan spiritual, yang dapat dipahami dengan menggunakan 'aql; dan ketiga, kebenaran yang sepenuhnya berdimensi ghaib dan immaterial yang dapat dimengerti dengan menggunakan al-qalb. Singkatnya kebenaran pada alam semesta dan manusia yang bersifat fisikal dan material dikembangkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi; kebenaran dalam realitas material dan spiritual dikembangkan dalam filsafat Sedangkan kebenaran yang bersifat spiritual saja dikembangkan dalam ilmu agama.

Sampai di sini pertanyaannya adalah apakah tiga sarana yang disebutkan di atas di IAIN sudah benar-benar digali secara maksimal dan optimal untuk memperoleh pengetahuan dan kebenaran? Dan Apakah ilmu pengetahuan, filsafat dan agama sudah benar-benar diajarkan dan dikembangkan di lingkungan IAIN sebagai satu paket sajian yang tak dapat dipisahkan satu sama lain? atau malah seringkali terjadi kesalahpahaman antarketiganya?

Obyek Kajian Ilmu dan Orientasinya
Dalam Alquran dijelaskan pula bahwa ada tiga hal yang menjadi obyek kajian ilmu dan ketiganya merupakan kesatuan perwujudan dari tanda-tanda Tuhan. Tiga hal itu adalah:
1) Ayat-ayat Tuhan yang terdapat dalam alam semesta
2) Ayat-ayat Tuhan yang ada dalam diri manusia dan sejarah
3) Ayat-ayat Tuhan yang tersurat dalam kitab suci, seperti Alquran.

Dari sini, dapat dikatakan bahwa menurut Alquran, tiga daya yang dapat dipakai untuk memahamai kebenaran, yaitu al-fikr, al-'aql dan al-qalb merupakan satu kesatuan organik yang sifatnya berlapis dan berjenjang. Integrasi iptek, filsafat, dan agama sangat mungkin karena obyek kajiannya mempunyai kesatuan sumber, yaitu ayat-ayat Tuhan yang ada pada alam semesta diri manusia dan sejarah, serta yang tersurat dalam kitab suci. Integrasi ketiga tahapan tersebut sebenarnya merupakan wujud integrasi dari perpanjangan ayat-ayat Tuhan. Integrasi iptek, filsafat dan agama merupakan tuntutan realitas kehidupan itu sendiri di mana ketiganya dapat saling melengkapi. Jika iptek digunakan untuk memecahkan persoalan-persoalan yang bersifat teknis, operasional, maka filsafat memberikan landasan hakekat dan maknanya terhadap sesuatu hal, memberikan wawasan yang metataknis dan metafisik dan selanjutnya agama memberikan arah dan tujuan yang paling akhir dari hidup manusia agar semua proses itu berjalan sebagai bagian dari penghambaannya kepada Tuhan dalam dimensi spiritual.

Inilah maksud dari apa yang dikatakan oleh Kuntowijoyo bahwa ayat- ayat Alquran hendaknya dijadikan sebagai grand theory untuk menyelidiki dan meneliti ayat-ayat Tuhan yang terdapat pada alam, diri manusia dan sejarah. Sebaliknya, temuan-temuan ilmiah harus dipakai untuk menjustifikasi kebenaran kalam Tuhan yang tersurat dalam Alquran, seperti yang terdapat dalam ayat berikut ini:

sanurihim ayatina fi al-afaqi wa fi anfusihim hatta yatabayyana lahum annahu al-Haqq.
Awalam yakfi birabbika annahu 'ala kulli syay`in syahid
(Alquran; surat HAmim al-Sajdah; 53)

Akan Kami perlihatkan ayat-ayat Kami yang terdapat di berbagai ufuk dan dalam diri mereka sendiri sampai menjadi jelas bahwa ayat-ayat yang tersurat dalam Alquran adalah benar (al-haqq).

Jika penelitian ilmiah dilakukan dengan prosedur semacam itu maka muncullah para ilmuwan yang dalam Alquran disebut sebagai Ulul Albab, yakni orang-orang yang tidak hanya sekedar berdzikir dalam keadaan duduk, berdiri, dan berbaring, tetapi juga mereka berpikir, meneliti dan mengkaji alam semesta, diri manusia dan sejarah. Setelah mereka menemukan kebenaran melalaui alam raya ini merekapun mengatakan, "Rabbana ma khalaqta hadza batilan subhanaka fa qina adzab al-nar." (Wahai Tuhan kami, Engkau tidak menciptakan semua ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau maka peliharalah kami dari siksa api neraka).

Inilah orientasi keilmuan Islam yang akan dikembangkan di UIN nantinya. Jika orang Barat mengatakan science for the sake of science (ilmu untuk ilmu) atau l'art pour l'art (seni untuk seni) maka kita harus mengatakan science for the search of God (Ilmu untuk mencari dan menuju Tuhan). Karena itu, Cak Nur menulis buku yang berjudul Pintu Pintu Menuju Tuhan. Jika tidak demikian halnya, maka yang terjadi adalah sebaliknya, seperti dikatakan oleh Nabi yang bersenjata Muhammad saw.:

Man Yazdad 'ilmanlam yazdad hudan, lam yazdad min Allah illa bu'dan (Al-Hadits)
Artinya: Siapa yang bertambah ilmunya, tetapi tidak bertambah petunjuknya, maka ia akan semakin jauh dari Tuhan.

Dengan mengunakan bahasa agama, seperti dikatakan oleh A. Mukti Ali, bahwa ilmu itu untuk ibadah, bukan untuk berkuasa dan mengeksploitasi alam. Hal ini juga sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Muhammad Iqbal dalam The Reconstruction of Religious Thought in Islam:

Orang mukmin adalah cakrawala hanyut dalam dirinya
Orang kafir adalah dirinya hanyut dalam cakrawala

Jadi, ilmuwan yang benar adalah ilmuwan yang menggunakan ilmunya untuk mengarahkan masyarakatnya menuju ridha Tuhan dan bukan ilmuwan yang hanya tergiur oleh hawa nafsu duniawi dan kekuasaan sesaat.
Wa Allah A'lam bi al-Shawab

Tulisan ini terdapat dalam Buku Wahyu Memandu Ilmu.
Bandung: Gunung Djati Press, 2006

Kamis, 16 Oktober 2008

Sekali Lagi Problem dan Prospek Dialog Antaragama

Oleh Dr. ALI MASRUR, M.Ag.

ISLAM dan Kristen, keduanya adalah agama misioner, yakni agama yang memerintahkan para penganutnya untuk melakukan dakwah atau penginjilan keseluruh dunia sebagai tugas suci. Dalam Alquran Surat Ali Imran (3);19 dan 85, misalnya, dikatakan bahwa agama yang diterima di sisi Allah adalah agama Islam, dan jika seseorang mengikuti agama lain selain Islam, mereka tidak akan pernah diterima. Oleh karena itu, Islam harus disebarkan ke seluruh jagat raya. Demikian pula ayat penutup Injil St. Matius 28:19-20 memerintahkan Komisi Besar untuk mencari murid dari seluruh bangsa.

Perintah-perintah dari teks-teks suci ini mendorong para penganut masing-masing agama untuk mempromosikan, mendakwahkan, dan sekaligus menunjukkan kekayaan dan warisan agamanya kepada pemeluk agama lain. Sayangnya, dalam upaya memenuhi panggilan misi dan dakwah tersebut, aktivitas misioner Kristen di kalangan kaum Muslim dan aktivitas dakwahIslam di kalangan kaum Kristen sering kali menimbulkan gesekan-gesekan kecil hingga benturan-benturan yang lebih besar di kedua pihak. Fenomena menyedihkan ini menyebabkan kian bertambahnya ketegangan antarpenganut agama di berbagai belahan dunia dan pada saat yang sama menunjukkan betapa mendesaknya dewasa ini untuk dilakukan upaya-upaya menciptakan kondisisaling pengertian dan saling menghormati antara Islam dan Kristen.

Signifikansi dialog

Fenomena di atas, seperti kesalahpahaman, ketegangan, dan mungkin juga konflik antaragama membuat kita semua, tidak bisa tidak, harus melakukan dialog untuk mengurangi benturan-benturan tersebut, jika bukan meniadakannya. Di masa lalu hubungan antaragama ditandai dengan antagonisme polemik dan upaya untuk mengalahkan, menundukkan, dan menggaet pihak lain keagama kita. Hal ini disebabkan karena hubungan antaragama belum sering terjadi. Agama-agama saat itu hidup dalam suatu masyarakat yang relatif homogen, tertutup, dan belum mengenal dunia lain selain dunianya sendiri. Dalam keadaan demikian, agama-agama lebih mengembangkan sikap egosentrisme masyarakat yang beranggapan bahwa merekalah satu-satunya masyarakat yang beragama secara benar sedangkan agama-agama lain yang dianut oleh komunitas agama lain diklaim salah dan sesat.

Namun ketika kontak-kontak antaragama sering kali terjadi sejak tahun 1950-an, maka muncul paradigma dan arah baru dalam pemikiran keagamaan. Orang tidak lagi bersikap negatif dan apriori terhadap agama lain. Bahkan mulai muncul pengakuan positif atas kebenaran agama lain yang pada gilirannya mendorong terjadinya saling pengertian. Di masa lampau, kita berusaha menutup diri dari tradisi agama lain dan menganggap agama selain agama kita sebagai lawan yang sesat serta penuh kecurigaan terhadap berbagai aktivitas agama lain, maka sekarang kita lebih mengedepankan sikap keterbukaan dan saling menghargai satu sama lain.

Semua ini tidak bisa terwujud tanpa adanya dialog antarpemeluk agama secara intensif dan berkesinambungan. Tentu saja yang dimaksudkan dengan dialog disini bukanlah upaya mengonversi pihak lain untuk memeluk agama kita; bukan usaha menyatukan semua ajaran agama menjadi satu agama; bukan beradu argumentasi antarpelbagai pemeluk agama hingga ada yang menang dan ada yangkalah; dan bukan pula meminta pertanggungjawaban orang lain dalam menjalankan agamanya.

Dialog antaragama adalah pertemuan hati dan pikiran antarpemeluk berbagai agama dalam kedudukannya yang setaraf dan sederajat tanpa merasa lebih baik atau lebih tinggi daripada yang lain, serta tanpa tujuan yang dirahasiakan. Dialog lebih merupakan komunikasi antarpenganut agama dan jalan bersama untuk mencapai tujuan dan kerja sama dalam projek-projek yang menyangkut kepentingan bersama. Dialog semacam ini menuntut para peserta dialog untuk dapat menghormati, bersedia mendengar, tulus, terbuka, mau menerima pendapat orang lain, dan mau bekerja sama dengan orang lain.

Pada level ini, dialog mensyaratkan suatu kebebasan beragama sehingga setiap penganut agama bebas mendalami dan melakukan keyakinannya, serta menguraikan dan mengomunikasikan pengalaman keagamaannya kepada orang lain. Dialog semacam itu, kata Wilfred Cantwell Smith, akan membawa pada rekonsiliasi dan sekaligus dapat menumbuhkan sikap saling memahami, menghargai, dan menghormati satu sama lain, dan bukan saling mencurigai, meremehkan, dan sikap-sikap negatif lainnya.

Berbagai problem dialog

Meskipun demikian, dialog antarumat beragama bukanlah persoalan yang mudah dan lancar dalam kenyataannya. Tidak sedikit masalah-masalah dan tantangan-tantangan yang harus dihadapi dalam rangka mewujudkan projek ini. Salah satu masalah dalam komunikasi antaragama sekarang ini, khususnya diIndonesia, adalah munculnya sikap toleransi malas-malasan (lazy tolerance) sebagaimana diungkapkan P. Knitter. Sikap ini muncul sebagai akibat dari pola perjumpaan tak langsung (indirect encounter) antaragama, khususnya menyangkut persoalan teologi yang sensitif. Sehingga kalangan umat beragama merasa enggan mendiskusikan masalah-masalah keimanan. Tentu saja, dialog yang lebih mendalam tidak terjadi, karena baik pihak Kristen maupun Muslim sama-sama menjaga jarak satu sama lain. Masing-masing agama mengakui kebenaran agama lain, tetapi kemudian membiarkan satu sama lain bertindak dengan cara yang memuaskan masing-masing pihak. Yang terjadi hanyalah perjumpaan tak langsung, bukan perjumpaan sesungguhnya.

Sebab lain yang tak kalah pentingnya adalah masih adanya sikap saling mencurigai antarpenganut agama terhadap tujuan dan motif diadakannya dialog. Belakangan ini, sebagian besar dialog di berbagai tempat di dunia adalah atas inisiatif gereja, baik Katolik maupun Protestan. Dalam konteks itu, penganut agama lain merasa tidak yakin dengan motif dialog. Mereka khawatir bahwa dialog hanya merupakan cara terselubung dari umat Kristen untuk memasuki agama-agama non-Kristen. Karena kecurigaan itu, mereka menolak dialog dan, jika ikut, tentu dengan penuh kekhawatiran dan kecurigaan. Sikap menolak dialog ini juga terjadi di kalangan Kristen. Mereka beranggapan bahwa dialog antaragama hanya cocok untuk para guru besar universitas dan seminari, serta untuk para pejabat Vatikan dan Dewan Gereja Sedunia, dan tidak perlu dilakukan oleh para uskup, pastur, dan pendeta.

Ditambah lagi, masih ada kelompok-kelompok eksklusif di masing-masing agama. Di kalangan Islam, pemahaman agama secara eksklusif juga ada dan berkembang. Bahkan akhir-akhir ini, di Indonesia telah tumbuh dan berkembang pemahaman keagamaan yang dapat dikategorikan sebagai Islam radikal dan fundamentalis, yakni pemahaman keagamaan yang menekankan praktik keagamaan tanpa melihat bagaimana sebuah ajaran agama seharusnya diadaptasikan dengan situasi dan kondisi masyarakat. Mereka masih berpandangan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan dapat menjamin keselamatan menusia. Jika orang ingin selamat, ia harus memeluk Islam. Segala perbuatan orang-orang non-Muslim, menurut perspektif aliran ini, tidak dapat diterima di sisi Allah.

Pandangan-pandangan semacam ini tidak mudah dikikis karena masing-masing sekte atau aliran dalam agama tertentu, Islam misalnya, juga memiliki agen-agen dan para pemimpinnya sendiri-sendiri. Islam tidak bergerak dari satu komando dan satu pemimpin. Ada banyak aliran dan ada banyak pemimpin agama dalam Islam yang antara satu sama lain memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang agamanya dan terkadang bertentangan. Tentu saja, dalam agama Kristen juga ada kelompok eksklusif seperti ini. Kelompok Evangelis, misalnya, berpendapat bahwa tujuan utama gereja adalah mengajak mereka yang percaya untuk meningkatkan keimanan dan mereka yang berada "di luar" untuk masuk dan bergabung. Bagi kelompok ini, hanya mereka yang bergabung dengan gereja yang akan dianugerahi salvation atau keselamatan abadi.

Yang tidak kalah pentingnya adalah hambatan yang berasal dari faktor luar, seperti faktor politik. Faktor ini terkadang menjadi faktor penting, jika bukan yang paling penting di antara faktor-faktor lainnya. Bisa saja sebuah dialog telah dibangun dengan bersusah payah selama bertahun-tahun atau mungkin berpuluh-puluh tahun, dan dengan demikian kita pun hampir memetik buahnya. Namun tiba-tiba saja muncul kekacauan politik yang ikut memengaruhi hubungan antaragama dan bahkan memorak-porandakannya seolah petir menyambar yang dengan mudahnya merontokkan "bangunan dialog" yang sedang kita selesaikan.

Seperti yang sedang terjadi di negeri kita saat ini, kita tidak hanya menangis melihat political upheavels di negeri ini, tetapi lebih dari itu yang mengalir bukan lagi air mata, tetapi darah; darah saudara-saudara kita, yang mudah-mudahan diterima di sisi-Nya. Tanpa politik kita tidak bisa hidup secara tertib teratur dan bahkan tidak mampu membangun sebuah negara, tetapi dengan alasan politik juga kita seringkali menunggangi agama dan memanfaatkannya.

Prospeknya di masa mendatang

Walaupun berbagai hambatan menghadang jalan kita untuk menuju sikap terbuka, saling pengertian dan saling menghargai antaragama, saya kira kita tidak perlu bersikap pesimis. Sebaliknya, kita perlu dan seharusnya mengembangkan optimisme dalam menghadapi dan menyongsong masa depan dialog. Paling tidak ada tiga hal yang dapat membuat kita bersikap optimis. Pertama, pada beberapa dekade terakhir ini studi agama-agama, termasuk juga dialog antaragama, semakin merebak dan berkembang di berbagai universitas, baik didalam maupun di luar negeri. Selain di berbagai perguruan tinggi agama, IAIN dan Seminari misalnya, di universitas umum seperti Universitas Gajah Mada, juga telah didirikan Pusat Studi Agama-agama dan Lintas Budaya. Meskipun baru seumur jagung, hal itu bisa menjadi pertanda dan sekaligus harapan bagi pengembangan paham keagamaan yang lebih toleran dan pada akhirnya lebih manusiawi. Juga bermunculan lembaga-lembaga kajian agama, seperti Interfidei dan FKBA di Yogyakarta, yang memberikan sumbangan dalam menumbuhkembangkan paham pluralisme agama dan kerukunan antarpenganutnya.

Kedua, para pemimpin masing-masing agama semakin sadar akan perlunya perspektif baru dalam melihat hubungan antar-agama. Mereka seringkali mengadakan pertemuan, baik secara reguler maupun insidentil untuk menjalin hubungan yang lebih erat dan memecahkan berbagai problem keagamaan yang tengah dihadapi bangsa kita dewasa ini. Kesadaran semacam ini seharusnya tidak hanya dimiliki oleh para pemimpin agama, tetapi juga oleh parapenganut agama sampai ke akar rumput sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara pemimpin agama dan umat atau jemaatnya. Kita seringkali prihatin melihat orang-orang awam yang pemahaman keagamaannya bahkan bertentangan dengan ajaran agamanya sendiri. Inilah kesalahan kita bersama. Kita lebih mementingkan bangunan-bangunan fisik peribadatan dan menambah kuantitas pengikut, tetapi kurang menekankan kedalaman (intensity) keberagamaan serta kualitas mereka dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama.

Ketiga, masyarakat kita sebenarnya semakin dewasa dalam menanggapi isu-isu atau provokasi-provokasi. Mereka tidak lagi mudah disulut dan diadu-domba serta dimanfaatkan, baik oleh pribadi maupun kelompok demi target dan tujuan politik tertentu. Meskipun berkali-kali masjid dan gereja diledakkan, tetapi semakin teruji bahwa masyarakat kita sudah bisa membedakan mana wilayah agama dan mana wilayah politik. Ini merupakan ujian bagi agama autentik(authentic religion) dan penganutnya. Adalah tugas kita bersama, yakni pemerintah, para pemimpin agama, dan masyarakat untuk mengingatkan para aktor politik di negeri kita untuk tidak memakai agama sebagai instrumen politik dan tidak lagi menebar teror untuk mengadu domba antarpenganut agama.

Jika tiga hal ini bisa dikembangkan dan kemudian diwariskan kepada generasi selanjutnya, maka setidaknya kita para pemeluk agama masih mempunyai harapan untuk dapat berkomunikasi dengan baik dan pada gilirannya bisa hidup berdampingan lebih sebagai kawan dan mitra daripada sebagai lawan.

Penulis dosen Fakultas Ushuluddin dan Program Pascasarjana IAIN Sunan Gunung Djati Bandung. (Pikiran Rakyat, 10 Juli 2004)

Selasa, 14 Oktober 2008

Sekilas tentang Buku Sejarah Hidup Maryam As.

Sekilas tentang Buku
Sejarah Hidup Maryam As.
Sebuah Kajian Tafsir Tematik
Karya Dr. Aliah Schleifer

Pengantar:
T.J. Winter
Fakultas Teologia Universitas Cambridge
Dr. Ali Jum'ah Muhammad
Guru Besar Hukum Islam Universitas al-Azhar Kairo
Penerjemah: Ali Masrur
Penerbit
UII Press Yogyakarta 2004

Buku terjemahan Ali Masrur dari karya Dr. Aliah Schleifer yang berjudul asli Mary as. The Blessed Virigin of Islam ini merupakan sebuah karya unik. Ia mengambarkan posisi terhormat dan mulia yang dipegang oleh Maryam as. dalam pikiran orang-orang sunni dan orang-orang muslim awam serta dengan tepat meletakkan posisi Maryam dalam sudut pandang Bibel.

Menurut Schleifer, Maryam adalah sosok pribadi nyata yang penting. "Sungguh ia adalah seorang ibu yang luar biasa," katanya. Pengalaman hidupnaya merupakan ujian berat bagi keimanannya. Bahkan Alquran memuat secara khusus Surat Maryam sebagai bukti bahwa Maryam tidak ada bandingannya sebagai model kesempurnaan seorang perempuan.

Kesucian Maryam dihormati sebagai keajaiban yang terbesar. Ia melahirkan seorang putra bernama Isa as. yang kemudian dikenal sebagai nabi, "juru selamat" kemusyrikan sebelum Muhammad saw. lahir, untuk kemudian meneruskan misi menegakkan tauhid.

Buku ini sangat bermanfaat dibaca oleh siapapun yang ingin meneladani Maryam ibu nabi Isa as.

Daftar Isi

Ucapan Terima Kasih
Kata Pengantar
Mengenang Aliah Schleifer
Pendahuluan
Pedoman Transliterasi
Daftar Isi

Bab Satu Kehidupan Maryam as.
Kelahiran Maryam dan Pemeliharaannya
Kelahiran 'Isa b. Maryam
Melarikan diri dari Raja Herod
Wafatnya Maryam as.

Bab Dua Bunda

Bab Tiga Simbol Kepasrahan, Yang Taat, Yang Beriman

Bab Empat Yang Suci, Yang Terbaik di Antara Semua Wanita

Bab Lima Yang Tulus, Yang Benar: Wali atau Nabi?

Bab Enam Kesimpulan

Berbagai Kebajikan Maryam Yang Unggul
Bibliografi
Sumber-sumber Primer
Sumber-sumber Sekunder
Tokoh-Tokoh Kunci yang Disebutkan dalam Teks

Appendiks
Berbagai gambar di Kakbah
Biodata
Penulis
Penerjemah

Minggu, 12 Oktober 2008

Buku Teori Common Link G.H.A. Juynboll

Buku Ini menghadirkan sebuah teori dan perspektif baru dalam kajian hadits. Lewat teori common link yang dicetuskan oleh Joseph Schacht, Juynboll mampu melacak akar kesejarahan hadits nabi. Dan, lewat teori ini pula dia sampai pada kesimpulan bahwa tidak semua hadits yang termuat dalam kitab-kitab kanonik (al-kutub al-sittah/ at-tis'ah) adalah autentik dan dapat dipertanggungjawabkan kesejarahannya. Ini merupakan kesimpulan yang provokatif dan kontroversial sehingga menarik untuk terus diperbincangkan dan didiskusikan (editor LKiS).

Daftar Isi
Buku Teori Common Link G.H.A. Juynboll:
Melacak Akar Kesejarahan Hadis Nabi saw.
Karya Dr. Ali Masrur Abdul Ghaffar, M.A.

Pengantar Redaksi xii
Pengantar Penulis xii
Glosarium xii
Daftar Isi xviii

Pendahuluan 1

Bab I.
Gautier H.A. Juynboll: Karya dan Posisinya dalam Studi Hadits
Modern di Barat 15
A. Biografi dan Karya-Karya G.H.A. Juynboll 15
B. Posisi Juynboll dalam Studi Hadits Modern di Barat 31

Bab II
Teori Common Link G.H.A. Juynboll 57
A. Teori Common Link sebelum G.H.A. Juynboll 57
B. Asumsi Dasar dan Istilah-istilah Teknis dalam Teori Common
Link 63
C. Cara Kerja Teori Common Link: Metode Rekonstruksi dan Analisis
Isnad 77
D. Teori-Teori Terkait 92
1. Backward-Projection 93
2. Argumenta e silentio 97

Bab III.
Implikasi Teori Common Link terhadap Asal Usul dan
Perkembangan Hadis 103
A. Sumber dan Asal Usul Hadits 103
B. Metode Kritik Hadits Konvensional 110
C. Teori Mutawatir dalam Hadits 116
D. Posisi Syu'bah bin Hajjaj dalam Perkembangan Hadits 127
E. Isnad Keluarga: Historisitas Isnad
Malik - Nafi' - Ibn Umar 137
F. Beberapa Isu Penting dalam Hadits 151
1. Hadits tentang pembangunan kota Baghdad 151
2. Hadits tentang mengecat rambut dan janggut 157
3. Hadits yang merendahkan martabat perempuan
(misoginis) 162

Bab IV.
Berbagai Interpretasi tentang Fenomena Common Link 169
A. M.M. Azami: Common Link Hanya Imajinasi 170
B. H.H. Motzki: Common Link sebagai Kolektor Sistematis
Pertama 175
C. Michael A. Cook: Common Link sebagai Akibat dari Proses
Penyebaan Isnad 184
D. Norman Calder: Common Link sebagai Tokoh yang Kebal
dari Kritik 191
E. David Powers dan Upaya Mencari The Real
Common Link 198
F. Interpretasi Alternatif 206

Bab V.
Verifikasi Teori Common Link Berdasarkan Hadis tentang Syahadat
dan Rukun Islam 215
A. Analisis Isnad 216
1. Hadits Umar bin al-Khaththab 217
2. Hadits Ibn Umar 225
3. Hadits Thalhah bin Ubaidillah 228
B. Analisis Matan 231
1. Hadits Umat bin al-Khaththab 232
2. Hadits Ibn Umar 241
3. Hadits Thalhah bin Ubaidillah 245
C. Hubungan Antarberbagai Hadits yang Berbeda 251
D. Catatan Akhir 257

Kesimpulan 263
Daftar Pustaka 271
Indeks 285
Biodata Penulis 295

ABSTRAK DISERTASI

ASAL USUL HADIS

(TELAAH ATAS TEORI COMMON LINK G.H.A JUYNBOLL)

Sebagian besar ahli hadis beranggapan bahwa apabila sebuah hadis tertentu yang disandarkan kepada nabi saw. ditemukan dalam koleksi hadis kanonik, lebih-lebih dalam Shahih Bukhari dan Muslim, maka dengan koleksi hadits-hadis itu bersumber dari nabi saw. namun, berdasarkan temuan G.H.A. Juynboll (1935-) dengan menggunakan teori common link, walaupun sebuah hadis tertentu telah direkam dalam al-Kutub al-sittah, tetapi hadis itu belum tentu berasal dari nabi saw. Tujuan pertama disertasi ini adalah mengkaji teori common link G.H.A. Juynboll dan implikasinya terhadap persoalan asal usul dan perkembangan awal hadis. Teori common link yang berpijak pada asumsi yang berbeda dengan asumsi metode kritik hadis di kalangan muhaddisin pada gilirannya menimbulkan akibat yang cukup mengejutkan ahli hadis pada khususnya dan umat Islam pada umumnya. Tujuan kedua adalah menguji kembali kebenaran teori tersebut dengan cara menerapkannya pada hadis-hadis tentang syahadat dan rukun Islam dan menawarkan penafsiran baru tentang fenomena common link dan fenomena lainnya.

Verifikasi teori common link membuktikan bahwa teori ini dapat diterima kebenarannya sebagai sebuah metode untuk menelusuri asal-usul hadis. Teori tersebut dapat memberi jawaban yang lebih akurat dan memadai mengenai kapan, di mana, dan oleh siapa sebuah hadis mulai disebarkan secara publik. Namun berbeda dengan Juynboll yang menganggap common link sebagai seorang pemalsu (fabricator) hadis yang bertanggung jawab atas perkembangan isnad dan matan hadis dan bahwa hampir tidak pernah seorang sahabat memainkan peranan sebagai common link, studi ini membuktikan bahwa common link adalah seorang periwayat yang menjadi titik pindah dari periode periwayatan hadis secara publik dan massal. Common link bukanlah seorang pemalsu hadis. Ia adalah orang yang pertama yang meriwayatkan hadis dengan kata-katanya sendiri, tetapi subtansi maknanya tetap memiliki kesinambungan dengan tokoh yang lebih tua dari pada dirinya, baik sahabat maupun Nabi saw. studi ini juga menunjukkan bahwa seorang periwayat yang menduduki posisi common link dalam sebuah bundel isnad berasal dari generasi yang beragam: generasi sahabat kecil, tabin atau tabiit tabiin walaupun sebagian besar periwayat yang menduduki posisi tersebut berasal dari generasi tabiin.


Telaah Pustaka

Sudah ada sejumlah penulis yang membicarakan ide-ide Juynboll tentang hadis, baik dalam bentuk buku maupun artikel. Hanya saja tulisan-tulisan itu, selain tidak bersifat menyeluruh dan mendalam, juga tidak dimaksudkan untuk meneliti teori common linknya secara khusus.

Wael B. Hallaq dalam A History of Islamic Legal Theories menyatakan, berbagai penelitian akhir-akhir ini tentang asal-usul hadis menunjukkan bahwa Goldziher, Schacht, dan Juynboll terlalu skeptis dan bahwa sejumlah hadis dapat diberi penananggalan lebih awal daripada pendapat mereka, bahkan seawal nabi sendiri. Menurut temuan-temuan ini, walaupun sebagian besar hadis berasal dari beberapa dekade setelah hijrah, tetapi ada sejumlah meteri hadis yang berasal dari masa kehidupan nabi.[1] Oleh karena itu, Hallaq tidak menyimpulkan secara a priori bahwa seluruh hadis itu autentik, dan tidak pula menerima semuanya, walaupun beberapa hadis telah diakui shahih oleh ilmu kritik ilmu hadis di kalangan muslim.

David S. Powers dalam Studies in Qur’an and Hadith meletakkan Juynboll di antara believers dan sceptics berdasarkan pendapat-pendapat Juynboll dalam Muslim Tradition. Meskipun Juynboll mengakui bahwa setidak-tidaknya beberapa hadis yang disandarkan kepada nabi mencerminkan apa yang sebenarnya dikatakan atau diperbuat oleh nabi, tetapi menurutnya, periwayatan hadis nabi yang formal dan terstandarisasi baru mulai dikembangkan antara tahun 670 dan 700 M.[2]

L. T. Librande menjelaskan, pikiran Juynboll sejalan dengan Goldzhier dan Schacht yang berpendapat bahwa kesejarahan hadis belum terbukti kebenarannya. Oleh karena itu, Juynboll menawarkan metodologi khusus untuk menelusuri tempat asal, waktu dan pengarang hadis.[3] Daniel W. Brown juga mengemukakan argumen Juynboll secara singkat yang menyatakan bahwa dalam uraian-uraian biografi, tokoh-tokoh awal yang berhubungan dengan sunnah jarang dikenali sebagai para ahli di bidang hadis. Dalam kenyataannya, mereka seringkali dikritik karena kecerobohan dalam periwayatan hadis atau bahkan pemalsuannya. Selain itu, juga dikatakan bahwa Juynboll adalah tokoh yang mengembangkan teori common link dari Joseph Schacht.[4]

Faisar Ananda Arfa dalam Sejarah Pembentukan Hukum Islam membahas pikiran-pikiran Juynboll seputar sunnah dan hadis nabi. Sayangnya, pembahasannya tentang ide-ide Juynboll hanya dimaksudkan untuk membuktikan bahwa Juynboll adalah pendukung sebagian besar gagasan dan argumen Schacht.[5]

Akh. Minhaji dalam Kontroversi Pembentukan Hukum Islam membicarakan Juynboll yang dipengaruhi oleh gagasan Schacht. Setelah membaca karya Juynboll, Muslim Tradition, Minhaji menyatakan bahwa Juynboll sangat kagum dan pada gilirannya sangat terpengaruh oleh ide-ide Schacht. Untuk mendukung kecenderungannya, Juynboll mengkritik hasil temuan Sezgin dan Abbott yang berbeda dengan kesimpulan Schacht dan banyak mengandung kelemahan. Dikatakan juga, Juynboll adalah tokoh yang mendapat inspirasi dari teori-teori backward-projection dan common link. Tetapi pembicaraan ini hanya dimaksudkan sebagai bukti bahwa ide-ide Schacht tentang pembentukan hukum Islam telah mempengaruhi sarjana-sarjana berikutnya, seperti Juynboll.[6]

Satu-satunya penulis yang mengkaji teori common link secara khusus adalah Harald Motzki. Ia menulsi artikel dengan judul, “Quo Vadis, Hadit-Forschung? Eine Kritische Untersuchung von G.H.A Juynboll: “Nafi’ the mawla of Ibn Umar and his position in Muslim Hadith Literature”. Menurutnya, temuan Juynboll - bahwa semua hadis nabi dengan isnad Nafi’ – Ibnu ‘Umar tidak kembali kepada Malik tetapi kepada Nafi’ – tidak dapat dipertahankan. Dengan menggunakan contoh hadis tentang zakat al-fithr, Motzki mampu menunjukkan bahwa hipotesis Juynboll tersebut tidak benar. Ia menyatakan bahwa hadis tersebut kembali kepada Ibnu ‘Umar dan tidak dipalsukan oleh Malik.[7] Meski demikian, penelitian ini tetap tidak sama dengan penelitian Motzki. Jika penyelidikan Motzki lebih bersifat falsifikatif, maka penyeledikan yang sekarang ini bersifat verifikatif.


Arti Penting Studi Ini

Sigifikansi studi hadis sangat terkait dengan status nabi saw. Hadis adalah laporan-laporan mengenai sunnah nabi dan generasi muslim awal. Sunnah ini merupakan praktik dan model tingkah laku yang mengantarkan nabi dan masyarakat Madinah ke Puncak kesuksesan. Apa saja yang dikatakan atau diperbuat oleh Nabi saw. dianggap oleh orang-orang muslim sebagai contoh ideal dan normatif bagi mereka. Sejak awal, Muhammad saw. merupakan teladan dari apa yang diajarkan oleh Quran. Oleh sebab itu, segala pengkajian mengenai hadis termasuk kajian tentang teori common link yang terkait dengan persoalan asal-usul hadis, memiliki makna yang cukup penting.

Di sisi lain, hadis juga tidak dapat dipisahkan dari posisi hukum dalam Islam. Telah diketahui bahwa orang-orang muslim mengembangkan sebuah agama yang sangat menekankan praktik ortodoks. Di tangan para fuqaha’, fikih telah menterjemahkan sunnah nabi ke dalam aturan-aturan tingkah laku dan hadis merupakan pendukung sunnah yang paling bernilai dan dapat dipercaya. Dengan demikian, hukum Islam tidak dapat berdiri tanpa dukungan hadis, lebih-lebih jika persoalan asal-usul hadis belum terjawab secara memadai. Dalam konteks itulah, pengkajian ini perlu disambut baik.

Di samping itu, Juynboll adalah seorang pengkaji hadis modern di Barat dan sekaligus komentator dan penerjemah ide-ide Goldziher dan Schacht. Walaupun ia tidak selalau mengikuti dan sejalan dengan keduanya, tetapi paling tidak melalui teori common linknya, orang dapat memahami dengan baik karya-karya kedua tokoh itu. Hingga saat ini, Juynboll dapat dianggap sebagai pengkaji hadis terbesar di Barat. Oleh karena itu, membaca dan menyimak teori common linknya merupakan sebuah keharusan untuk melihat seberapa jauh capaian-capaian studi hadis di Barat yang telah disumbangkan kepada studi hadis pada khususnya, dan studi Islam pada umumnya.


Disertasi ini sudah diterbitkan oleh penerbit LKiS Yogyakarta pada tahun 2007 dengan judul Teori Common Link G.H.A. Juynboll: Melacak Akar Kesejarahan Hadis Nabi saw.



[1]Wael B.Hallaq, A History of Islamic Legal Theories (Cambrideg: Cambridge University Press, 1997), 2.

[2]David S. Powers, Studies in Quran and Hadith: the Formation of the Islamic Law of Inheritance (Los Angels: University of California Press, 1986), 6.

[3]L.T. Librande, “Hadith”, dalam Mircea Eliade (ed.) The Encyclopedia of Religion, vol 6 (New York: Publising Company, 1987), 147.

[4]Daniel W. Brown, Rethingking Tradition in Modern Islamic Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 1996), 12 dan 85.

[5]Faisar Ananda Arfa, Sejarah Pembentukan Hukum Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), 17-27.

[6]Akh. Minhaji, Kontroversi Pembentukan Hukum Islam: Kontribusi Joseph Schacht, terj. Ali Masrur (Yogyakarta: UII Press, 2001), 68-74.

[7]Harald Motzki, “Whither Hadith-Studies? A Critical Examination of G.H.A. Juynboll’s Nafi’ the mawla of Ibn ‘Umar and His Position in Muslim Hadith-Literature”, rans. Fiona Ford and Frank Griffel, 18.

Kamis, 09 Oktober 2008

Biodata Ali Masrur Abdul Ghaffar

Ali Masrur Abdul Ghaffar lahir di Sidoarjo Jawa Timur pada tahun 1973. Setelah menamatkan pendidikannya di MINU (1985) dan MTsN (1988) serta belajar bahasa Arab di Madrasatul Alsun selama empat tahun (1984-1988) di Sidoarjo, ia melanjutkan sekolah ke MA Program Khusus di Jember Jawa Timur. Setelah lulus dari MAPK pada tahun 1991, ia melanjutkan ke Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, lulus tahun 1996 dengan skripsi yang berjudul "Kritik Azami terhadap Schacht tentang Isnad" dan ke jenjang Magister Program Pascasarjana Konsentrasi Agama dan Filsafat, lulus tahun 1998. Masih di perguruan tinggi yang sama, ia melanjutkan studinya ke Program Doktor konsentrasi Islamic Studies dan lulus pada tahun 2004 dengan disertasi yang berjudul Teori Common Link G.H.A. Juynboll: Melacak Akar Kesejarahan Hadis Nabi saw. di bawah bimbingan Prof. Dr. KH. Sayyid Agil Husin al-Munawwar, M.A. dan Prof. Dr. H.A. Qodry Azizy, M.A. Disertasinya ini kemudian diterbitkan oleh LKiS Yogyakarta pada tahun 2007. Kini, ia mengabdikan diri sebagai dosen tetap Fakultas Ushuluddin dan Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Selain itu, ia juga menjabat sebagai Direktur Iranian Corner di Fakultas Ushuluddin UIN Bandung. Pada bulan Pebruari 2012, bersama rombongan Majelis Ulama Indonesia, ia mengikuti Short Course di Pusat Riset, Universitas Internasional Al-Musthafa, Qum, Iran. Hal ini dilakukannya untuk memahami Budaya Islam Iran dan keberagaaman masyarakat Iran dari sumber aslinya untuk menghilangkan berbagai prejudise dan misunderstanding masyarakat Indonesia terhadap aqidah dan ajaran Syiah selama ini.

Pekerjaan:
1. Staff pengajar Pesantren Mahasiswa Al-Muhsin Krapyak Wetan Yogyakarta (1997-1999).
2. Penerjemah dan penulis buku-buku keislaman (1999-Sekarang).
3. Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung (2000-Sekarang).
4. Dosen Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung (2004-Sekarang).
5. Distributor kertas Cakrawala Mega Indah (CMI) Sinarmas (2004-2009).
6. Editor Jurnal Wawasan: Jurnal Ilmu Agama dan Budaya, Fak. Ushuluddin UIN Bandung (2007-2011).
7. Editorial Board, Journal of Qur'an and Hadith Studies, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2011 - Sekarang)
8. Editor In Chief Intisyar al-Afkar: Journal of Islamic and Sosial Studies, Fak. Ushuluddin bekerjasama dengan Universitas Liga Arab dan Ain Syams, Kairo, Mesir (2010-sekarang).
Alamat: Komplek Citra AB 2 No. xx Panyileukan Kodya Bandung Jawa Barat; Blog: http://www.alimasrur.blogspot.com

Jabatan:
1. Ketua Gunung Djati Press UIN Bandung (2003-2007)
2. Anggota Senat Fakultas Ushuluddin UIN Bandung (2004-2007)
3. Anggota Konsorsium Bidang Ilmu Hadits UIN Bandung (2004-sekarang)
4. Direktur Iranian Corner Lembaga Kerjasama UIN Bandung dan Kedutaan Besar Republik Islam Iran untuk Pengembangan Filsafat dan Pemikiran Islam (April 2008-sekarang)
5. Angota Senat Universitas UIN Bandung (2008-2011)
6. Lektor Kepala bidang Ulumul Hadis (Oktober 2009-sekarang)
7. Wakil Sekretaris PW Persatuan Guru NU Jawa Barat (2007-2011)
8. Ketua Lazis NU Jawa Barat (2007-2011)

Guru-gurunya:
KH. Abdurrahman Wahid, Prof. Dr. H.A. Mukti Ali M.A., Prof. Dr. H.A. Qodry Azizy, Prof. Dr. H.M. Amin Abdullah Prof. Dr. H. Komarudin Hidayat, Prof. Dr. H. Atho' Mudzhar, Prof. Dr. H. Machasin, Prof. Dr. Kunto Wibisono, Prof. Dr. Sunyoto Usman, M.A., KH. Yusuf Muhammad, M.A. Prof. Drs. K.H. Zaini Dahlan M.A., Prof. Dr. H. Simuh, Prof. Dr. H. Nuruzaman Shiddiqi, M.A., Prof. Dr. Akh. Minhaji M.A., Prof. Dr. H. Musa Asyari, M.A. Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A., Prof. Dr. Hj. Amani Lubis, M.A. Prof. Dr. H.D. Hidayat, M.A. Prof. Dr. KH. Agil Husin al-Munawwar, M.A., Prof. Drs. KH. Chathibul Umam, M.A., Emha Ainun Najib, KH. Agus Ali Masyhuri dan lain-lain

My Family:
Istri: Oni Puji Astuti, S.Ag.
Anak: Rifka Indi dan Najmi Najiya

Pesan-pesan untuk sesama:
1. The certain one is now uncertainty, the constant one is now changing (Yang pasti
adalah ketidakpastian dan yang tetap adalah perubahan).
2. Yang tertangkap oleh indera manusia hanya fenomena, sementara kebenaran yang hakiki (nomena) tersembunyi di baliknya. Oleh karena itu, janganlah tertipu oleh yang tampak (appearent) saja.
3. Empat prinsip hidup menurut Imam Abu Dawud: a) Niat yang benar b) Makan dari rizki yang halal c) tidak melakukan hal-hal yang tidak penting dan d) hidup bermanfaat untuk orang lain.
4. Menjadi apa anda bergantung kepada apa yang anda lakukan terus menerus.

My Published Works:
Books:
1. Geoffrey Parrinder. Yesus dalam Quran, terj. Ali Masrur dkk. Yogyakarta: Bintang
Cemerlang, 2001.
2. Akh. Minhaji. Kontroversi Pembentukan Hukum Islam: Kontribusi Joseph Schacht, terj. Ali Masrur. Yogyakarta: UII Press, 2001.
3. Aliah Schleifer. Sejarah Hidup Maryam AS: Sebuah Kajian Tafsir Tematik, terj. Ali Masrur. Yogyakarta: UII Press, 2004.
4. Ali Masrur. Teori Common Link Juynboll: Melacak Akar Kesejarahan Hadis Nabi saw. Yogyakarta: LKiS, 2007.
5. Ali Masrur. "Studi Hadis di Barat: dari Ignaz Goldziher hingga Norman Calder" (Dalam proses penerbitan).
6. Michael Cook. Oposisi Penulisan Hadis di Masa Islam Awal, terj. Ali Masrur. Bandung: Nuansa Cendekia, 2012.
7. Gema Martin Munoz (ed.). "Islam dan Dunia Barat: Relasi Budaya dan Politik di akhir Milenium", terj. Ali Masrur dan M. Subky Hasbi (sedang dalam proses penerbitan).

Articles:
1. Ali Masrur. Membangun Tradisi Saling Memaafkan, dalam Harian Umum Jawa Pos Radar Yogya, Senin Wage 8 Mei 2000.
2. Ali Masrur dan Oni Puji Astuti. Jatuh Bangunnya Sebuah Bangsa, dalam Harian Umum Jawa Pos Radar Yogya, Selasa Legi 30 Mei 2000.
3. Ali Masrur. Gus Dur, Diganti atau Dipertahankan, dalam Harian Umum Bernas Yogyakarta Sabtu Wage 17 Juni 2000. Dimuat juga di Harian Umum Jawa Pos Radar Yogya Senin Legi 19 Juni 2000.
4. Ali Masrur. Pemilihan Presiden Langsung: Pendidikan Politik Bagi Rakyat, dalam Harian Umum Jawa Pos Radar Yogya, Kamis Pon 6 Juli 2000.
5. Ali Masrur. Pemeriksaan Tokoh-Tokoh DRP/MPR, dalam Harian Umum Jawa Pos Radar Yogya, Selasa Pon 11 Juli 2000.
6. Ali Masrur. "Fazlur Rahman dan Penafsirannya tentang Ahli Kitab" dalam Studi Alquran Kontemporer: Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir. Yogyakarta: Tiara wacana, 2002; Dan dalam Tashwirul Afkar Jurnal Lakpesdam PBNU Jakarta (2000).
7. Ali Masrur. "Diskursus Metodologi Studi Hadis Kontemporer: Analisa Komparatif antara Pendekatan Tradisional dan Revisionis," dalam Wawasan Jurnal Fakultas Ushuluddin UIN Bandung No. 23 (2000).
8. Ali Masrur. "Pemikiran Tasawuf Ortodoks di Asia Tenggara: Kontribusi ar-Raniri, as-Singkili, dan al-Makasari", dalam Jurnal Khas Tasawuf.Jakarta (2002).
9. Ali Masrur. "Gagasan Pembaharuan Sayyid Ahmad Khan", dalam Wawasan Jurnal Fakultas Ushuluddin UIN Bandung No 25 (2003).
10. Ali Masrur. "Wahdatul Wujud Abdul Rauf al-Singkili", dalam Khazanah Jurnal Pascasarjana UIN Bandung Vol. 1 No. 3 (2003).
11. Ali Masrur. "Posisi Pemikiran Hadis G.H.A. Juynboll dalam Studi Hadis Modern Di Barat," dalam Wawasan Jurnal Fakultas Ushuluddin UIN Bandung (2005)
12. Ali Masrur. "Sekali Lagi Problem dan Prospek Dialog antar Agama", dalam Pikiran Rakyat(2004).
13. Ali Masrur. "Verifikasi Teori Common Link Berdasarkan Hadis tentang Syahadat dan Rukun Islam", dalam Khazanah Jurnal Pascasarjana UIN Bandung Vol 1 No. 5 (2005).
14. Ali Masrur. "Prinsip Epistemologi Qurani", dalam Wahyu Memandu Ilmu. Bandung: Gunung Djati Press, 2006.
15. Ali Masrur. "Perkembangan Literatur Hadis", dalam Khazanah Jurnal Pascasarjana UIN Bandung (2006).
16. Ali Masrur, "Rene Dercartes dan Logika Baru", dalam Zubaedi dkk., Filsafat Barat: Dari Logika Baru Rene Descartes Hingga Revolusi Sains ala Thomas Khun. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007.
17. Ali Masrur,"Instrumentalisme Jhon Dewey: Telaah atas Pandangan Metafisika Jhon Dewey", dalam Zubaedi dkk., Filsafat Barat: Dari Logika Baru Rene Descartes hingga Revolusi Sains ala Thomas Khun. Yogyakarta: ar-Ruzz Media, 2007.
18. Ali Masrur, "M.M. Azami dan Autentisitas Hadis", dalam Teologia: Jurnal Ilmu-Ilmu Ke-ushuludin-an(2008) Fak. Ushuluddin UIN Bandung
19. Ali Masrur (sebagai Moderator), Seminar Nasional Masa Depan Bangsa dan Radikalisme Agama, 17 Juli 2004, di Aula IAIN Bandung.
20. Ali Masrur (sebagai tamu undangan)di Acara Pembukaan Seminar Internasional di Istana Wapres RI Jakarta (7 Nopember 2006) dengan tema "Translating Islam in the Multicultural World for Peace, Justice and Welfare", dan sebagai peserta seminar di Hotel Savoy Homan, Bandung (7-8 Nopember 2006).
21. Ali Masrur, (sebagai Nara Sumber) Ekspose Disertasi untuk Penelitian dalam Bidang Islamic Studies dalam Rangka Dies Natalis ke-39 UIN Bandung pada tanggal 4 April 2007.
22. Ali Masrur (as Partisipant)in International Seminar on "the Role of Muslims in South East Asia to Build a Harmony", organized by Post-Graduate Program, State Islamic University and University Kebangsaan Malaysia in December 13-15, 2007 in Puri Khatulistiwa Hotel, Bandung.
23. Ali Masrur (sebagai Ketua Panitia)International Seminar on The Educational System of University in Iran: The Possibility of International Class Cooperation in The Faculty of Ushuluddin", Wednesday, May 28th, 2008, In Iranian Corner, The Faculty of Ushuluddin, State Islamic University Sunan Gunung Djati Bandung.
24. Ali Masrur, Bercermin Toleransi dari Yerussalem, disampaikan dalam acara Bedah Buku Yerussalem, bersama wartawan senior Kompas, Trias Kuncahyono, di Ruang Sidang Al-Jami'ah UIN Bandung, Desember, 2008.
25. Ali Masrur, "Sejarah Kapitalisme dan Sosialisme serta Kritik terhadapnya", disampaikan dalam sebuah seminar di Aula UIN Bandung di depan mahasiswa Fak. Ushuluddin UIN Bandung, April, 2009.
26. Ali Masrur, "Sejarah Perkembangan NU dan Perbandingannya dengan Organisasi Lain di Indonesia" Disampaikan dalam acara Pengkaderan dan Musyawarah Anggota KMNU UPI Bandung, November, 2009.
27. Ali Masrur. "Kiamat dalam perspektif Agama", disampaikan dalam acara seminar di depan mahasiswa ilmu pemerintahan Unpad Bandung, Desember 2009.
28. Ali Masrur. "Nabia Abbott (1897-1981) tentang Pertumbuhan Isnâd dan Periwayatan Hadis Secara Tertulis", dalam Jurnal Wawasan Fakultas Ushuluddin UIN Bandung;(2010).
29. Ali Masrur (as Partisipant), International Seminar on The Historical and Cultural Relations Between Indonesia - Iran in Commemorating the 60th years of Diplomatic Relations between Indonesia and Iran, in April 27-28th 2010 at National Museum, Jakarta.
30. Ali Masrur. Penerapan Metode Tradition Historical Harald Motzki terhadap Mushannaf Abdurrazzaq al-Shan'ani dan Implikasinya terhadap Fikih Mekkah. Bandung: Lemlit UIN Bandung, 2010 (sedang dalam proses penelitian).
31. Ali Masrur. Kajian Hadis di Dunia Barat: Pemetaan Periodisasi dan Kesinambungan (dalam proses penelitian).
32. Dan lain-lain.