Sabtu, 14 Februari 2009

Toleransi Antaragama

Bercermin Toleransi dari Yerusalem

Harian Umum Kompas
Jumat, 5 Desember 2008 06:19 WIB
Laporan wartawan Kompas Yulvianus Harjono

Kota suci tiga agama besar dunia. Demikian julukan yang kerap disematkan pada Yerusalem. Sebuah kota yang banyak disebut-sebut di Alkitab, Al-Quran, hingga Kitab Taurat. Kota yang selalu mengundang pertikaian dan pedebatan tanpa henti jika berbicara soal klaim kepemilikan atas nama agama.
Namun, tidak banyak yang mengetahui, lewat Yerusalem pula orang-orang justru diajarkan indahnya keragaman dan pentingnya toleransi. Wajah kota suci agama Islam, Kristen, dan Yahudi yang toleran dan syahdu ini tergambar jelas dalam buku karya Trias Kuncahyono, wartawan senior Harian Kompas yang menerbitkan buku Yerusalem; Kesucian, Konflik dan Pengadilan Akhir .
Dalam bedah buku karyanya di Universitas Islam Sunan Gunung Djati, Kamis (4/12) Trias bercerita, karya ini sebetulnya merupakan tapakan perjalanan rohaninya yang disampaikan dengan pendekatan jurnalistik namun dilengkapi pengamatan dan literatur sejarah. Salah satu hasilnya, ia menemukan bahwa warga Yerusalem dalam berabad-abad waktu, hidup secara toleran.
Meski, seperti di Jakarta, kota itu terbagi-bagi dalam empat wilayah yang masing-masing dihuni warga muslim, Kristen, Armenia, dan Yahudi. Wilayah ini dipisahkan oleh garis imajiner. Meski hidup dengan agama dan cara pandang berbeda, masing-masing itu tidak terisolasi. Namun, saling berinteraksi. Bahkan, di satu wilayah itu sendiri, terdapat tempat ibadah berbagai agama.
"Yang membuat saya terharu, pada sore hari terdengar suara Adzan. Beberapa saat kemudian terdengar denting lonceng dari Gereja Makam Kudus. Sebuah suasana yang hening dan sangat syahdu," ucapnya.
Meski demikian, ia tidak membantah bahwa Yerusalem memiliki wajah lainnya, yaitu warna konflik hingga pertikaian. "Bagaimanapun, Yerusalem bukan kota malaikat," tuturnya di depan audiens yang antusias hingga ruangan pertemuan di kampus UIN SGD pun penuh sesak.
Ia pun berpandangan, jika persoalan saling klaim atas Yerusalem bisa diselesaikan, maka otomatis konflik di Timur Tengah menemukan pangkal penyelesaian.
Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas ini bercerita, mengkaji buku karyanya ini tidaklah semudah melakukan reportase di Yerusalem itu sendiri. Dalam pengalaman bedah buku di beberapa daerah, seringkali ia sempat khawatir akan reaksi audiens. Sangat sensistif ketika kita berbicara Yerusalem. Padahal, menurutnya, kajian di Yerusalem sangatlah relevan dengan konteks Indonesia yang juga negara multikultur dan agama.
Wawan Hernawan, Ketua Jurusan Perbandingan Agama UIN SGD mengatakan, masyarakat Indonesia saat ini seringkali melihat persoalan Yerusalem dari kacamata kebencian. Padahal, seperti digambarkan Trias Kuncahyono di dalam bukunya, kenyataannya tidaklah demikian. " Kita kurang melakukan hal semestinya, perbandingan agama. Melainkan, justru pertandingan dan persaingan agama," tuturnya.
Buku ini mengingatkan kita bahwa keanekaragaman agama seharusnya menjadi alat untuk berlomba-lomba dalam kebajikan, bukan mengobarkan api peperangan. "Dalam konteks Indonesia, sangat disayangkan jika kita negara yang multietnis, malah tidak ingin memahami orang lain. Justru memaksakan kehendak," tutur Ali Masrur Abdul Ghaffar yang juga tampil sebagai pengulas buku.

Yulvianus Harjono