Kamis, 24 Juni 2010

Gagasan Pembaharuan Islam
Sayyid Ahmad Khan
Berdasarkan Teks dalam Zu’amâ` al-Ishlâh
fî al-‘Ashr al-Hadîts, Karya Ahmad Amîn)

Oleh: Dr. Ali Masrur, M.Ag.

Dalam buku Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan,1 ketika berbicara tentang pembaharuan di Kerajaan Utsmani, Harun Nasution menyebutkan tiga golongan pembaharuan yang muncul di Turki. Mereka adalah golongan Barat, Islam dan nasionalis. Golongan Barat berpendapat bahwa kelemahan dan kemunduran Turki disebabkan oleh kebodohan dan kemunduran orang Turki sendiri. Berbagai tradisi dan institusi lama yang sudah ketinggalan zaman, mata yang tidak mau melihat dan akal yang malas berpikir adalah hal-hal yang menjadi penyebab kemunduran orang Turki. Di hadapan mereka terdapat selubung yang menutupi mata dan pikiran mereka. Selubung itu tiada lain adalah syariat yang telah mengungkung segala segi kehidupan bangsa Turki. Menurut golongan ini, untuk menyembuhkan penyakit-penyakit ini, bangsa Turki harus mencontoh Barat karena Barat adalah guru. Sebagai murid yang baik, bangsa Turki harus mencintai guru mereka dan sebagai konsekwensinya mereka mestinya mencintai pengetahuan dan kemajuan yang telah dicapai oleh peradaban Barat. Bagi mereka, peradaban hanya satu, yakni peradaban Barat yang harus ditiru dan diambil oleh bangsa Turki.2
Lawan dari golongan Barat adalah kelompok Islam. Kelompok ini berpendapat bahwa sebab dari kemunduran bangsa Turki bukanlah syariat karena agama tidak pernah menjadi penghambat kemajuan. Bagi mereka, penyebab dari kelemahan orang Turki adalah tidak diterapkannya syariat di Kerajaan Utsmani. Oleh karena itu, obatnya adalah pemberlakuan syariat di segala aspek kehidupan bangsa Turki. Kelemahan lainnya adalah adanya golongan Barat yang suka meniru kebudayaan Barat tanpa reserve. Secara tegas, golongan Islam menuduh golongan Barat telah melakukan gerakan westernisasi.3
Golongan nasionalis sebagai kelompok ketiga berpendapat bahwa kelemahan bangsa Turki disebabkan oleh keenggganan umat Islam untuk mengakui adanya berbagai perubahan dan perkembangan dalam kehidupan mereka. Sebagai akibatnya, mereka merasa tidak perlu melakukan reinterpretasi atas berbagai ajaran Islam. Sebab lainnya adalah hilangnya kebudayaan nasional Turki karena dikalahkan dengan peradaban Islam. Cara menyembuhkannya adalah dengan menghilangkan berbagai institusi lama yang dipandang tidak perlu karena peradaban Islam yang mengembangkan institusi-institusi itu juga telah m\engalami kemunduran. Meskipuh demikian, kebudayaan nasional yang akan dihidupkan kembali harus dijiwai oleh semangat Islam. Golongan ini tidak setuju denngan golongan Barat yang ingnin mencontoh Barat dalam segala hal. Unsur-unsur peradaban barat yang posistif dapat digunakan sebagai model untuk membentuk kebudayaan nasional Turki moderen. Kebudayaan nasional ini bukanlah syariat, bukan pula kebudayaan Turki sebelum Islam dan bukan pula kebudayaan Barat.4
Di India pada awal abad sembilan belas hingga pertengahan abad dua puluh muncul beberapa tokoh dan gerakan pembaharuan Islam. Di antara tokoh-tokoh yang melancarkan pemikiran-pemikiran pembaharuan itu adalah Sayyid Ahmad Khan (1817-1888), Sayyid Amir Ali (1849-1928), Maulana Muhammad Ali (1878-1931), Muhammad Iqbal (1876-1938), Muhammad Ali Jinnah (1876-1915), dan Abul Kalam Azad (1888-1958).5
Di antara para pembaharu yang disebut di atas, Ahmad Khan adalah tokoh yang memiliki pandangan yang luas dan sekaligus liberal dalam menyuarakan gagasan-gagasan pembaharuannya. Jika kita menggunakan tiga kategori yang diajukan Harun Nasution tentang aliran pembaharuan Islam di Turki untuk menyoroti pemikiran pembaharuan Sayyid Ahmad Khan, maka akan timbul pertanyaan, apakah Ahmad Khan termasuk golongan Islam, Barat, atau Nasionalis. Persoalan itulah yang akan dicari jawabannya dalam tulisan berikut ini.
Biografi Sayyid Ahmad Khan
Meskipun bukan merupakan sebuah keharusan untuk membicarakan biografi seorang tokoh jika kita mengkaji pemikirannya,, tetapi setidak-tidaknya latar belakang kehidupannya membuat para pembaca lebih mudah untuk memahami ide-idenya. Bagaimanapun juga, sebuah pemikiran merupakan respon terhadap tantangan zaman yang dialami dan dihadapi oleh seorang pemikir. Oleh karena itu, pengalaman hidupnya menjadi tidak dapat dipisahkan dengan pemikirannya.
Sayyid Ahmad Khan b. al-Muttaqi b.. al-Hadi al-Hasani al-Dahlawi dilahirkan pada tanggal 17 Oktober 1817 M/1232 H di kota Delhi. Nenek moyangnya yang berasal dari Iran sangat terkenal di medan perang. Mereka menganggap dirinya memiliki karamah karena masih merupakan keturan Nabi Muhammmad saw. kakek Ahmad Khan yang pada mulanya menjadi panglima perang di kemudian hari diberi kedudukan agamis semi-hakim oleh kaisar Mughal.
Ayah Ahmad Khan yang bernama al-Muttaqi adalah seorang sufi dan pemimpin agama yang karena keturunan sayyid maka ia berpengaruh besar dan sangat dihormati oleh raja Mughal saat itu, Akbar Syah II. Ayahnya adalah orang yang dingin, suka berterus terang, pandai memanah dan berenang, serta sangat erat hubungannya dengan Syaikh Ghulam Ali Naqshabandi Mujaddidi, seorang wali setempat yang sangat terkenal. Hubungan Syaikh Ghulam Ali dengan keluarga al-Muttaqi begitu dekatnya sehingga Syaikh Ghulam Ali yang tidak dikaruniai anak biasa mengatakan, “Anak-anak Muttaqi seperti anak saya sendiri.” Pada saat Ahmad Khan lahir, ayahnya membawanya kepada syaikh tersebut dan diberikan nama Ahmad olehnya. Ketika Ahmad menginjak usia sekolah, pada mulanya ia dibawa kepada syaikh itu untuk diajarkan huruf Arab. Dalam suasana agamis yang meliputi ayahnya dan Syaikh Ghulam Ali, Ahmad kecil berkembang menjadi anak yang taat pada agama.6
Pemahamannnya yang mendalam tentang persoalan-persoalan kenegaraan dan perhatiannya pengetahuan dan peradaban Barat, ia banyak dipengaruhi oleh kakek dari pihak ibunya, Khwaja Fariduddi, yang kraung lebih selama delapan tahun menjadi perdana menteri diistana Mughal. Khwaja Fariduddin meninggal dunia sewaktu Ahmad Khan masih kanak-kanak. Namun pengaruh yang diitanamkannya untuk membentuk kebiasaan dan watak kepada cucunya sungguh tidak kecil. Karena bapak dan ibunya tinggal di rumah kakeknya itu, maka Ahmad Kkahan yang cerdas itu dappat melihat dari dekat kehidupan sehari-harai dan latar belakang sosilan dan politik dari seorang Menteri Mughal. Di kemudian hari, Ahmad Khan menulis bipografi Khwaja Fariduddin, yang tidak hanya menunjukkan sikap penghormatan kepada kakeknya, tetapi juga menyiratkan suasanan kebahagiaan, kedisiplinan, dan kebersihan di masa kecilnya.7
Di masa kecilnya, diduga bahwa kekuatan intelektual Ahmad Khan berkembang sanngat lamban dan ppada wakktu kanak-kanak dan remaja, ia ditandai dengan pertumbuhan yang sangat kuat dan lebih aktif di luar rumah daripada kegiatan intelektual. Pendidikan yang diperolehnya di waktu kecil tampaknya tidak mendalam dan sistematis. Namun di bawah asuhan seorang ibu yang bijaksana, cerdas dan pandai dalam mendidik anak-nakanya, ia memperoleh pengetahuan yang cukup. Selain itu, ia mengembangkan cinta yang sebenarnya kepada belajar yang memungkinkannya untuk melengkapi pengetahuannya di waktu muda. Dalam perjalanan selanjutnya, ia tidak hanya menjadi pemimpin politik, tetapi juga pemimpin intelektual bagi rakyatnya.8
Ahmad Khan menjalani hidupnya dalam kesenangan dan kecukupan. Namun setelah kakeknya meninggal, kekayaan keluarganya mulai menurun. Lebih-lebih setelah ayahnya meninggal pada tahun 1838, ekonomi keluarganya semakin merosot. Ahmad Khan yang masih muda itu mulai mencari penghidupannya sendiri. Pada awalnya, ia diangkat sebagai juru tulis rendahan, tetapi setelah itu ia diangkat sebagai munsif (wakil hakim) di Fatihpur Sikri pada tahun 1841,9 kemudian dipindahkan di Bignaur. Karena jasa-jasanya kepada Inggris, pada tahun 1969 M, ia mendapat kehormatan pergi ke negeri Inggris untuk menyaksikan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di sana. Sekembalinya di India pada tahun 1870, kegiatannya untuk memajukan umat Islam India semakin meningkat. Ia menerbitkan majalah Tahdzîbul Akhlâq (1870), mendirikan sekolah dengan nama Muhammadan Anglo-Oriental College (1875), yang kemudian berkembang menjadi Universitas Aligarh. Kemudian ia diangkat sebagai anggota Dewan Legislatif selama empat tahun (1878-1882 M). Untuk melaksanakan ide pembaharuannya di bidang pendidikan, ia mendirikan sebuah lembaga yang bernama All India Muhammadan Education Confrence (1886) yang menyelengarakan pertemuan tokoh-tokoh pendidikan Islam di India setiap tahun.10
Selama hidupnya, Ahmad Khan menerima banyak penghargaan dari Kerajaan Inggris atas berbagai jasa dan prestasinya. Pada tahun 1864, ia diangkat menjadi anggota kehormatan dari Royal Asiatic Society di London karena keahliannya yang monumental di bidang sejarah yang ditulis dalam bukunya, Athar al-Sanadid (1847), hasil penelitiannya tentang arkeologi di India dan sekitarnya.11 Pada tahun 1886, ia dianugerahi gelar kebangsaan Inggris (Sir) dan pada tahun berikutnya (1888) ia memperoleh gelar Doktor HC dari Universitas Edinburg di bidang ilmu hukum.
Selain sebagai seorang mujaddid di bidang keagamaan dan pendidikan, Ahmad Khan juga seorang penulis yang produktif. Karangannya berkisar tentang persoalan sejarah dan keagamaan. Tidak kurang dari 36 karyanya telah diterbitkan. Di bidang sejarah, selain buku Athar al-Sanadid (1847) yang telah disebutkan di atas, karyanya yang lain adalah Jam-I Jam (1840) yang berisi sejarah ringkas keluarga raja-raja Mughal sejak berdirinya hingga rajanya yang terakhir, Sultan Bahadur Syah II dan Essays on the Life of Muhammad (1870). Sementara karya-karyanya di bidang keagamaan yang terpenting adalah: Tafsîr al-Qur`ân yang terbit ppada tahun 1880 (jilid I), 1882 (jilid II), 1885 (III), 1888 (IV), 1892 (V) dan 1895 (VI), Ibthâl al-Ghulâm (1890) tentang penghapusan perbudakan dalam Islam, Tabyîn al-Kalâm (1862) tentang Bibel dan persoalan lainnya. Pada tanggal 27 Maret 1888, Sir Sayyid Ahmad Khan wafat setelah menderita sakit beberapa lama pada usia 81 tahun dan dimakamkan di Aligarh.12

Gagasan pembaharuannya di bidang pendidikan dan keagamaan
Sayyid Ahmad Khan memandang Inggris sebagai musuh yang terhormat dan berperadaban tinggi. Menentang kekuasaan Inggris tidak membawa kebaikan bagi umat Islam India, bahkan membuat Umat Islam India tetap mundur dan jauh ketinggalan dari masyarakat Hindu India. Oleh karena itu, untuk memajukan umat Islam India, Ahmad Khan menganjurkan upaya saling memahami di antara keduanya. Dengan demikian, umat Islam India dapat belajar dan mengambil hal-hal yang positif dari bangsa Inggris untuk kemaslahatan umat. Dan jika umat Islam telah mengetahui hak-haknya, maka pastilah mereka akan menuntut hak-hak itu.13
Inilah perbedaan Sayyid Ahmad Khan dengan Sayyid Jamaluddin al-Afghanî dalam sikapnya terhadap Inggris dan kolonialisme. Al-Afghani menganjurkan untuk membenci Inggris dan memusuhinya sekuat tenaga. Sementara Ahmad Khan lebih suka bekerja sama dengan bangsa Inggris demi kemajuan India. Oleh karena itu, upaya saling memahami antara bangsa India dan Inggris merupakan masalah yang pertama dan utama. Ahmad Khan tidak henti-hentinya memberikan pemahaman kepada pihak Inggris bahwa mereka memiliki kewajiban untuk memajukan dan membangkitkan bangsa yang mereka pimpin. Mereka tidak hanya berkewajiban memajukan proyek-proyek fisik material demi pengentasan kemiskinan bangsa India, tetapi juga harus memajukan pikiran mereka dan membebaskannya dari belenggu kebodohan.
Sikap semacam ini, tentu lebih dekat dengan sikap Muhammad ‘Abduh. Keduanya sama-sama berpendapat bahwa reformasi yang sebenarnya adalah reformasi nalar disertai dengan perbaikan moral dan peradaban. Bagi keduanya, kemerdekaan tidak akan diperoleh oleh bangsa yang bodoh dan terbelakang. Oleh sebab itu, tiang kemeredekaan tiada lain adalah ilmu pengetahuan, baik ilmu pengetahuan umum maupun agama. Ahmad Khan selanjutnya mengajak bangsa India untuk menguasai segala ilmu pengetahuan untuk membangun sebuah peradaban yang megah. Dengan ilmu pengetahuan itu, akal bangsa India menjadi tercerahkan dan tidak terbelenggu. Bagi Ahmad Khan, agama tidak melarang umatnya untuk mempelajari dan mendalami ilmu pengetahuan, tetapi justru agama membangkitkan dan mendorong umatnya untuk berfikir dan merenungkan segala ciptaan Tuhan.
Ahmad Khan dan ‘Abduh mengamati bahwa India dan Mesir berada di bawah kekuasaan Inggris yang sangat kuat. Mereka memiliki gudang-gudang senjata dan unggul dalam ilmu pengetahuan dan politik. Tidak mungkin bangsa India dan Mesir mampu melawannya. Mereka dapat melakukan perlawanan jika mereka bersatu. Namun mana mungkin mereka bersatu, sementara mereka adalah orang-orang bodoh dan sekaligus rendah moralnya.14 Lalu Ahmad Khan seolah bertanya-tanya, apa sebab bangsa India terbelenggu dalam kebodohan, kesempitan pikiran, dan sekaligus terjerembab dalam kemiskian? Ahmad Khan kemudian menarik kesimpulan bahwa problem mendasar yang harus segera diatasi adalah problem pendidikan.
Secara tegas Ahmad Khan membedakan antara pendidikan (tarbiyyah) di berbagai universitas yang didirikan oleh pemerintah Inggris dan pengajaran (ta’lîm) di berbagai sekolah tradisional di India. Sebagaimana terdapat dalam uraiannya di bawah ini:
Anak-anak di sekolah Inggris dididik dan diajarkan peradaban, sementara di sekolah-sekolah India, mereka hanya belajar. Sangat jauh perbedaan antara pendidikan dan pengajaran. Para pemuda di berbagai perguruan tinggi India kehilangan moralitasnya karena tinggal di tengah kota yang menggoyahkan (moral mereka). Di universitas-universitas India ini, tidak ada perhatian pada moral, etika, dan agama. Para guru berkeyakinan bahwa tugas mereka selesai dengan selesainya proses pengajaran. Cita-cita para pemuda hanya dibatasi oleh tugas-tugas dari lembaga tersebut tanpa memikirkan tugas-tugas mereka sendiri dan tugas-tugas untuk umatnya.”15

Dari sini, ia mulai meletakkan dasa-dasar dan metode-metode pendidikan yang diinginkannya. Berdasarkan pengalamannya ketika meninjau kemajuan dunia pendidikan di Universitas Cambridge dan Oxford, Inggris, Ahmad Khan mendambakan umat Islam dapat mendirikan universitas semacam itu. Pada tahun 1975, Ahmad Khan mendirikan Muhammadan Anglo Oriental College (MAOC) sebagai pengembangan ide pembaharuan di bidang pendidikan. Atas permintaannya, pemimpin MAOC yang pertama adalah seorang intelektual Inggris, Mr. Thedora Back. Sejak tahun 1879, MAOC dikelola seperti Collage di Cambridge. Kebanyakan pimpinan dan staf pengajarnya berbangsa Inggris dan bahasa pengantarnya adalah bahasa Inggris.16 Tujuan didirikannya MAOC antara lain: pertma, memberikan pengetahuan tentang peradaban barat dan Timur tanpa sikap fanatis dan statis; kedua, memberikan kehidupan kampus yang kondusif sehingga para pelajarnya tidak dikhawatirkan terpengaruh oleh budaya kota yang membahayakan iman dan kepribadian mereka; dan ketiga memberikan pendidikan terpadu antara pendidikan, penalaran, pendidikan jasmana, dan pendidikan moral.17 Pada tahun 1886, ia mendirikan All India Muhammadan Educational Confrence, suatu lembaga yang memhimpun para intelektual muslim India dan mengadakan seminar setahun di kota-kota tertentu di bawah pimpinan Ahmad Khan senndiri. Foorum seminar banyak membicarakan berbagai persoalan sosial umat Islam, terutama masalah pendidikan.18
Sampai di sini tampak jelas bahwa pembaharuan Ahmad Khan di bidang pendidikan sangat dipengaruhi oleh model pendidikan di Barat, khususnya pendidikan di Inggris. Ia tidak pernah melihat adanya pertentangan antara kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban di Barat dengan nilai-nilai Islam. Sebaliknya, ia melihat bahwa tidak ada pertentangan antara Islam dan peradaban Barat.19 Ia sangat kagum dengan tradisi keilmuan di Barat, khususnya di Inggris, yang sedemikian maju. Model dan metode pendidikan yang dicanangkannya lebih merupakan integrasi antara nilai-nilai Islam dengan peradaban Barat yang positif. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa Ahmad Khan termasuk ke dalam golongan Barat, yakni aliran pembaharuan yang ingin menjadikan kemajuan peradaban Barat sebagi coontoh dan model pembaharuannya.
Berbagai lembaga pendidikan yang didirikan oleh Ahmad Khan telah berhasil meluluskan generasi muslim yang baru dan berperadaban tinggi serta dibekali dengan wawasan yang luas dan sikap toleran dalam beragama. Para lulusannya yang tersebar di penjuru India membawa ajaran-ajaran Ahmad Khan dan mengajarkannya ke seluruh India. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, nama Aligarh tidak hanya menunjukkan sebuah universita, tetapi juga menunjukkan sebuah model nalar yang tercerahkan dan nilai moral dan sosial yang tinggi.20
Ahmad Khan juga melalukan pembaharuan di bidang keagamaan. Dalam masalah agama, umat Islam mengalami stagnasi dalam pemikiran agama serta tidak berorientasi pada kehidupan nyata. Mereka hanya menerima pelajaran Islam tradisional yang jumud dan membawa kepada sikap fatalisme. Para ulama tradisional tidak mau menerima kemajuan ilmu pengetahuan dan kebudayaan Barat yang dibawa oleh Inggris. Bahkan masyarakat India diisolasi dengan menyatakan budaya Barat sebagai “kebudayaan kafir”. Sebagai akibatnya, umat Islam India enggan memasuki sekolah-sekolah yang dibuka oleh pemerintahh Inggris karena khawatir iman dan akhlak merekka tterganggu. Sementara di pihak lain, golongan Hindu banyak memanfaatkan untuk bersekolah di sekolah-sekolah tersebut sehingga dapat melahirkan orang-orang pandai yang mampu menduduki jabatan penting dipemerintahan. Sedangkkan golongan Islam tidak dapat memanfaatkan lowongan jabatan tersebut disebabkan oleh kebodohannya sendiri.21
Pembaharuan Ahmad Khan di bidang pemahaman ajaran agama sungguh sangat liberal pada saat itu. Pembaharuannya tidak hanya mencakup masalah Quran dan hadis, tetapi juga masalah teologi dan hukum Islam. Mengenai Quran, Ahmad Khan berpendapat bahwa mukjizat Quran terletak pada maknanya, bukan pada lafazhnya. Karena yang diturunkan melalui hati nabi adalah makna Quran sedangkan lafazhnya berasal dari Nabi Muhammad saw.22 Sebagai kalam Tuhan, Quran tidak mungkin bertentangan dengan hukum alam karena perkataan Tuhan tidak mungkin bertentangan dengan perbuatan Tuhan.. Hukum alam yang dikenal sebagai natural laws di Barat dalam Quran disebut sebagai sunnatullah yang tidak mungkin berubah. Ilmu Pengetahaun di Barat maju karena para ilmuwan barat mampu menemukan hukum-hukum alam yang berlaku tetap.
Mengenai hadis, Ahmad Khan menerimannya dengan sangat kritis. Ia mengkritik tajam metode kritik hadis klasik dan akhirnya menyimpulkan bahwa hanya hadis yang berkaitan dengan masalah spiritual saja yang relevan dengan muslim kontemporer. Hadis-hadis yang terkait dengan persoalan duniawi tidaklah mengikat. Tanpa menolak otoritas sunnah sama sekalai, ia sangat membatasi ruang lingkuppnya, mengimbau untuk mencari mmetode baru guna menilainya serta menekankan posisinya yang subordinat dari Quran.23
Dalam masalah hukun, Ahmad Khan berpendapat bahwa yang menjadi dasar bagi sistem perkawinan dalam Islam adalah sistem monogami dan bukan sistem poligami sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ulama tradisional. Poligami hanyalah pengecualian bagi sistem monogami. Poligami sama sekkalai tidak dianjurkan, tetapi dibolehkan dalam kasus-kasus tertentu. Hukum potong tangan bagi pencuri bukan merupakan hukum yang wajib dijalankan,, tetapi hanya merupakan hukum yang maksimal yang dapat dijatuhkann dalam keadaan tertentu. Perbudakan dalam Quran hanya terbatas pada hari-hari pertama perjuangan Islam. Setelah pembukaan kota Mekkah, perbudakan tidak diperbolehkan lagi. Tujuan doa adalah merasakan kkehadiran Tuhan ialah merasakan kehadiran Tuhan. Jadi, doa hanya diperlukan untuk ketentraman jiwa. Ia menolak anggapan bahwa tujuan doa adalah meminta sesuatu dari Tuhan dan Tuhan akan mengabulkan permintaan tersebut karena kebanyakan doa tidak dikabulkan Tuhan.24
Ahmad Khan menyerang sikap taqlid umat Islam terhadap pendapat-pendapat para ahli hukum masa lampau. Menurutnya, sumber ajaran Islam hanyalah Quran dan hadis. Pendapat umat Islam di masa lampau tidak mengikat generasi Islam sekarang. Sebagai gantinya, ia menganjurkan ijtihad dengan menggunakan ilmu pengetahuan moderen sebagai bekalnya. Masyarakat senantiasa mengalami perkembangan dan perubahan. Oleh karena itu, adalah kewajiaban setiap generasi untuk memikirkan kembali hukum syariat yang lebih sesuasi dengan tuntutan zaman.25
Selain itu, Ahmad Khan juga sangat menghargai akal dan kebesan bertindak bagi manusia. Akal adalah pemberian Tuhan yang tidak diberikan kepada makhluk selain manusia. Manusia harus menggunakan akal sebaik-baiknya karena hanya dengan cara itu manusia mencapai kemajuan dalam hhidupnya. Baginya, manusia memiliki kebebsan berkehendak dan berindak (free will dan free act). Ia menolak adanya takdir yang telah ditentukan Tuhan bagi manusia karena hal itu bertentangan dengan kebebasan manusia yang harus bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Nasib manusia ditentukan oleh dirinya sendiri. Faham fatalisme telah menyebabkan kemunduran bagi rakyat India dan oleh karena itu paham tersebut harus diberantas.26
Pembaharuannya di bidang keagamaan juga banyak bersumber dari kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban Barat. Pandangannya tentang kedudukan akal yang begitu tinggi diilhami oleh kenyataan bahwa Barat dapat mencapai kemajuan pesat karena mereka menghargai akal dengan cara menggunakannya secara optimal. Demikian pula, ide-idenya tentang perlunya mempelajari hukum alam mengambil inspirasi dari pengalammnya bahwa orang-orang Barat mampu menemukan hukum-hukum alam dan kemudian memanfaatkannya untuk kesejahteraan umat manusia.

Kesimpulan
Analisis atas ide-ide pembaharuan Ahmad Khan tersebut di atas mengarah pada kesimpulan bahwa Ahmad Khan dapat dikategorikan sebagai seorang pembaharu yang beraliran Barat jika kita memakai kategorisasi Harun Nasution. Hal ini didukung oleh fakta bahwa Ahmad Khan adalah seorang pembaharu yang mengambil dan menerapkan unsur-unsur positif dalam peradaban Barat demi kemajuan umat Islam India. Lebih dari itu, ia ingin menyelaraskan nilai-nilai Islam dengan peradaban Barat, karena menurutnya, tidak ada pertentangan antara ajaran Islam dan peradaban Barat. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika model pendidikan yang didirikannya adalah model Barat dan bahasa pengantarnya pun bahasa Inggris. Dari data-data di atas tampak jelas bahwa dua bidang garapannya: bidang pendidikan dan bidang keagamaan dibangun kembali dengan cara memadukan antara substansi ajaran Islam dengan kemajuan ilmu pengetahun dan peradaban Barat. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Ahmad Khan adalah seorang pemikir pembaharu yang mampu menyatukan Islam dan Barat dalam sebuah konsep yang terpadu dan seimbang.


Daftar Pustaka

Ahmad Amîn. Zu’amâ` al-Ishâh fî ‘Ashr al-Hadîts. Beirut: Dâr al-Kitâb al-‘Arabî, Tanpa tahun.

Blumhardt. “Ahmed Khân”, dalam First Encyclopaedia of Islam 1913-1936. eds. M. Th. Houtsma, T.W. Arenold and Others. Leiden: Brill, 1987.

Brown, Daniel W. Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, terj. Jaziar Radianti dan Entin Sriani Muslim. Bandung: Mizan, 2000.

Departemen Agama R.I. Ensiklopedi Islam Indonesia. Artikel “Ahmad Khan, Sayyid (1817-1888)”. Jakarta: Departemen Agama R.I., 1992/1993.

Mukti Ali, A. Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan. Bandung: Mizan, 1996.

Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

Smith, Wilfred Cantwell. Modern Islam in India: A Social Analysis. New Delhi: Usha Publications, 1979.

Tidak ada komentar: