Kamis, 24 Juni 2010

Perjuangan Nabi Muhammad saw. di Mekkah
Sebuah Rekonstruksi Sejarah)1


Oleh: Dr. Ali Masrur Abdul Ghaffar, M.Ag.

Pendahuluan
Tidak dapat diingkari oleh siapapun bahwa nabi Muhammad saw. adalah manusia terbesar di muka bumi. Kebesarannya tidak hanya diakui oleh orang muslim, tetapi juga oleh orang-orang Barat; tidak hanya diakui oleh para pengikutnya, tetapi juga oleh para lawannya. Nabi Muhammad saw. adalah manusia sempurna (insân kâmil). Memang benar ia adalah manusia biasa, tetapi di sisi lain ia tidak seperti umumnya manusia. Syair Arab mengatakan:
Muhammadun basyarun lâ kalbasyari bal huwa kal yâqûti baina al-hajari
Muhammad adalah manusia, tetapi tidak seperti manusia lainnya. Ia seperti yâqût (batu mulia) di antara batu-batu.

Alquran mengatakan:
Qul Innamâ ana basyarun mitslukum yûhâ ilayya annamâ ilâhukum ilâhun wâhidun. (18:110)

Katakan, “Sesungguhnya aku adalah manusia biasa seperti kalian yang diberi wahyu bahwasannya Tuhan kalian adalah Tuhan yang Esa.

Kebesaran Nabi Muhammad saw. inilah yang mendorong setiap orang dari dulu hingga kini selalu ingin mengetahui rahasia-rahasia di balik kesuksesannya menyebarkan agama dan menjadi pemimpin umat manusia.

Nabi Muhammad saw. dan Wahyu
Muhammad bin ‘Abdullah dilahirkan dari kalangan keluarga terhormat yang relatif miskin, keturunan suku Quraisy di Mekkah sekitar tahun 570 M. Ayahnya telah meninggal sebelum ia lahir dan ibunya berpulang kerahmatullah ketika ia masih anak-anak. Ia dibesarkan olah pamannya, Abu Thalib, yang meskipun tak pernah mau menerima Islam, tetapi membela keponakannya mati-matian dari sikap permusuhan orang-orang Mekkah yang membenci agama Islam yang baru itu. Ia adalah orang yang jujur, dapat dipercaya dan berakhlak luhur. Khadijah, seorang janda kaya yang lebih tua lima belas tahun daripadanya dan mempekerjakannya untuk mengurus perdagangannya begitu terkesan oleh kejujuran dan akhlaknya sehingga ia meminta Muhammad menjadi suaminya. Muhammad yang waktu itu berusia dua puluh lima tahun menerima permintaan itu dan tidak kawin lagi sampai Khadijah meninggal di saat Muhammad saw. berusia lima puluh tahun. Kita juga tahu bahwa keluhuran budi Muhammad mendorongnya untuk menyepi secara teratur di Gua Hira di luar kota Mekkah untuk berkontemplasi. Proses kontemplasi batiniyah untuk mencapai pengalaman moral-religius ini mencapai puncaknya dengan turunnya wahyu kepadanya pada saat ia sedang tenggelam dalam perenungannya yang dalam.
Wahyu-wahyu awal yang diterima Muhammad saw. tentu saja terkait dengan persoalan ide monoteisme (tauhîdullah), yakni ide tentang keesaan Tuhan dan terkait dengan persoalan humanisme dan rasa keadilan ekonomi dan sosial di kalangan bangsa Arab. Siapapun yang membaca Alquran dengan teliti akan berkesimpulan demikian. Alquran (107) mengatakan,
Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang berlaku buruk terhadap anak-anak yatim dan tidak menganjurkan (orang) untuk memberi makan kepada orang miskin. Maka, celakalah orang-orang yang (walaupun) shalat, (namun) lalai dalam shalatnya, orang-orang yang shalatnya hanya riya` (untuk dilihat orang saja) dan menolak (untuk memberikan) pertolongan sehari-hari (bagi yang memerlukannya).

Semangat inilah yang kelak menghasilkan terbentuknya masyarakat Islam di Madinah. Nabi tampaknya menegaskan: satu Tuhan – satu ummat manusia. Perlu digarisbawahi bahwa, baik monoteisme maupun perasaan keadilan sosial-ekonomi, bukanlah sifat khas penduduk kota Mekkah atau bangsa Arab semata; sebaliknya, paham persamaan yang dikemukakan oleh Islam, dalam sifatnya sendiri, betul-betul melampaui ideal nasional manapun juga.
Menurut hadis, wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi adalah wahyu berikut:
Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan; yang telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah yang paling pemurah yang mengajar dengan pena. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Ketahuilah sesungguhnya manusia itu benar-benar melampaui batas, karena ia melihat dirinya serba cukup. Akan tetapi, kepada Tuhanmulah semuanya akan kembali. (Alquran 96: 1-8).

Cerita-cerita paling awal tentang Muhammad saw merujuk kepada kenyataan bahwa pengalaman ini terjadi dalam atau disertai oleh suatu keadaan ‘setengah sadar’ atau ‘kwasi mimpi’, karena Nabi diriwayatkan, setelah menceritakan pengalamannya itu, telah mengatakan: “Kemudian aku terjaga”. Bersama dengan berlalunya waktu, Nabi Muhammad saw mulai melancarkan perjuangan yang berat dengan dasar keyakinan-keyakinannya, dan pengalaman-pengalaman menerima wahyu ini menjadi semakin sering, sementara tradisi Islam menjelaskan bahwa pengalaman-pengalaman wahyu Nabi ini (ketika ia menyelam ke relung kesadaran yang paling dalam) biasanya disertai oleh gejala-gejala fisik tertentu.

Perjuangan Nabi Muhammad saw.
Dakwah Nabi Muhammad saw. mendapat tantangan sengit dari warga kota Mekkah terutama dari kelompok penguasa kota tersebut. Mereka tidak hanya takut pada tantangan nabi Muhammad saw terhadap agama tradisional mereka yang politeisme itu, tetapi juga khawatir kalau struktur masyarakat mereka sendiri dan kepentingan dagang mereka, akan tergoyahkan langsung oleh ajaran Nabi Muhammad saw yang menekankan keadilan sosial, yang makin lama makin menjurus dalam kutukannya terhadap riba, dan desakannya mengenai zakat. Segala macam tuduhan dilontarkan kepada nabi: bahwa ia adalah orang yang kesurupan, seorang penyihir, dan bahwa ia kehilangan keseimbangan pikiran.
Sementara perjuangan nabi terus berlangsung, ajaran Nabi sedikit demi sedikit dirumuskan dengan jelas, baik dengan cara mengeksplisitkan teologi dasarnya melalui strategi argumentasi maupun oleh suatu proses kristalisasi kewajiban-kewajiban spesifik yang dikenakan terhadap pengikut-pengikutnya, baik yang menyangkut diri mereka sendiri maupun vis a vis kelompok yang memusuhi mereka.
Secara kronologis, ajaran pertama yang ditanamkan oleh Alquran setelah monoteisme dan keadilan sosial-ekonomi adalah tentang hari pengadilan dan pertangungjawaban akhir dari perbuatan manusia. Manusia tidak hanya pendurhaka, tetapi juga pemberontak yang keras kepala. Karena itu, haruslah ada perhitungan moral di mana hukuman berat disediakan bagi orang-orang yang tidak percaya dan para pelaku kejahatan, sedangkan ganjaran yang besar akan diberikan kepada orang-orang yang shaleh. Sementara itu, tugas nabi adalah menyiarkan risalah dan memberi peringatan dengan tak kenal lelah, siapa tahu mereka akan sadar kembali.
Alquran pada periode Mekkah juga berualng-ulang berbicara tentang kisah Nabi-nabi terdahulu, Ibrahim, Nuh, Musa, Isa, dan lain-lain, yang juga adalah orang-orang yang dimusuhi masyarakatnya, yang risalahnya pun telah disambut dengan sikap keras kepala oleh sebagian besar masyarakatnya. Kisah-kisah tersebut makin lama makin lengkap dan gambaran nabi-nabi terdahulu itu semakin mempunyai bentuk yang pasti. Mempertanyakan - dari mana sumber-sumber riwayat nabi-nabi di dalam Alquran berasal - tidak penting dalam menegaskan makna dan keaslian risalah nabi. Karena yang utama adalah bagaimana kita bisa memahami fungsi dan makna cerita-cerita tersebut.
Dalam perjuangannya, walaupun pernah mengalami kekecewaan-kekecewaan, Nabi Muhammad saw tak pernah kehilangan harapan untuk meraih keberhasilan dan kemenangan dalam tugasnya. Orang-orang nampaknya menaruh penekanan terlalu banyak pada peristiwa lahiriyah secara rinci dan teliti dalam riwayat hidup nabi, tetapi tidak cukup memberikan perhatian kepada sejarah spiritual batiniahnya yang penuh pergolakan, yang masih harus disusun dengan lengkap. Sebelum Muhammad menerima tugas kenabian, pikirannya selalu terganggu oleh masalah-masalah tentang situasi dan nasib manusia. Hal ini mendorongnya untuk menyepi dan berkontemplasi secara teratur. Dari perjuangan jiwanya yang tak kenal menyerah untuk menemukan jawaban, turunlah wahyu. Tentang hal ini, Alquran mengatakan (94: 1-3): “Tidakkah Kami telah melapangkan kesesakan dadamu dan melepaskan beban yang memberatkan punggungmu?” Dengan demikian, seluruh sejarah batin nabi selanjutnya tergaris antara dua batas, yakni kekecewaan yang disebabkan oleh sikap warga Mekkah, yang merupakan masalah di luar kekuasaannya, dan usaha untuk mensukseskan misinya.
Demikian kuatnya semangat Nabi untuk berhasil hingga Alquran berulangkali menyinggung tentang keadaan dirinya, baik pada periode Mekkah maupun periode Madinah. ‘Tidaklah Kami turunkan Alquran kepadamu (hanya) untuk membuatmu menderita.’ (20:2). Bahwa perhatian Nabi dan keprihatinannya terhadap masyarakat Yahudi dan Kristen di Madinah pada dasarnya adalah sama dengan perhatian dan keprihatinannya terhadap orang-orang kafir Arab di Mekkah.
Nabi tidak menyia-nyiakan setiap kesempatan yang diperolehnya untuk melaksanakan rencananya. Musuh-musuhnya, baik ketika di Mekkah maupun di Madinah, yang mengetahui semangat Nabi yang demikian besarnya demi perjuangan kemanusiaan ini, menawarkan kepadanya kesempatan-kesempatan pancingan dengan imbalan konsesi-konsesi dari Nabi, tetapi Alquran terus-menerus memperingatkan Nabi tentang setiap kemungkinan kompromi dan menegaskan perbedaan antara kompromi dan strategi. ‘Mereka ingin, kalau saja engkau mau berkompromi maka mereka juga mau berkompomi.’ (68:9).

Strategi Nabi Muhammad saw.
Di Mekkah Nabi telah memperoleh sekelompok pengikut yang kecil jumlahnya, tapi bersemangat kuat. Namun setelah tiga belas tahun berdakwah dan berjuang terus menerus, tampak jelas bahwa gerakannya menemui jalan buntu. Dan Tampaknya kecil sekali harapan untuk cepat-cepat memperoleh keberhasilan menghadapi perlawanan warga Mekkah yang keras kepala itu. Ketika itulah, orang-orang Madinah mengadakan hubungan dengan Nabi dan mengundangnya untuk pindah ke kota tersebut, dan menjadi pemimpin politik dan agama. Karena alasan ini, tidak mungkin untuk menganggap Nabi telah kehilangan harapan atau ditolak sama sekali di Mekkah, walaupun perjuangannya baru memperoleh kemajuan sedikit saja, dan seperti dikatakan tadi, tampaknya seolah-olah menemui jalan buntu. Seandainya misinya memperoleh kemajuan yang memuaskan, tentulah ia tidak akan meninggalkan Mekkah, karena menguasai kota tersebut yang merupakan pusat keagamaan bangsa Arab, adalah tujuan utamanya. Namun sebaliknya, ia juga bukan sama sekali tidak diikuti orang di Mekkah, karena kalau tidak demikian, jelas orang-orang Madinah itu tidak akan memintanya untuk menjadi pemimpin agama dan politik mereka.
Di Madinah, Nabi mengeluarkan sebuah piagam yang menjamin kebebasan beragama orang-orang Yahudi sebagai suatu komunitas dengan menekankan kerja sama seerat mungkin dengan sesama kaum muslimin, dan menyerukan kepada orang-orang muslim dan Yahudi untuk bekerja sama demi keamanan mereka bersama, dan sejauh menyangkut peraturan dan tata tertib umum, otoritas mutlak diberikan kepada Nabi untuk memutuskan dan mengadili perselisihan-perselisihan di antara mereka. Dalam waktu yang singkat, nabi berhasil membina persaudaraan sejati yang kokoh dan efektis di antara imigran-imigran muslim Mekkah dan kaum muslimin Madinah, suatu fenomena yang menakjubkan ahli-ahli sejarah, baik dahulu maupun sekarang. Setelah keberhasilan ini diperoleh, Nabi beralih pada tugas yang meruapakan faktor yang menentukan dalam misi kerasulannya, yakni menarik Mekkah untuk menerima Islam, dan melalui kota pusat keagamaan ini selanjutnya menyebarkan Islam ke daerah-daerah lain. Karenanya, sejak saat itu, seluruh usaha nabi dikerahkan untuk mencapai tujuan ini. Di Mekkah, ia telah berusaha sekeras-kerasnya, tapi tampaknya tidak ada hasilnya. Dalam semangatnya, ia ingin melakukan strategi dan tindakan-tindakan yang kadang-kadang menjurus kepada bahaya kompromi.
Kenyataan yang sebenarnya adalah bahwa nabi mempunyai strategi yang jitu, yakni merebut Mekkah terlebih dahulu, untuk kemudian dari kota ini, menyiarkan Islam ke daerah-daerah lainnya. Inilah target utama Nabi yang akan ia jalankan, sekalipun seandainya ia masih di Mekkah. Ada dua faktor utama yang mendorong kebijaksanaan ini: pertama, Mekkah adalah pusat keagamaan bangsa Arab dan melalui konsolidasi bangsa Arab dalam Islamlah, Islam bisa tersebar ke luar. Kedua, apabila suku Muhammad sendiri dapat diislamkan, maka Islam akan memperoleh dukungan yang besar, karena orang-orang Quraisy, dengan kedudukan mereka sendiri serta pakta-pakta antarsukunya, mempunyai kekuasaan dan pengaruh yang besar. Bahkan dalam periode Mekkah awal, Alquran menyuruh Nabi untuk lebih dahulu mendekati sanak keluarganya yang terdekat dan suku bangsanya.

Kunci Kesuksesan Kepemimpinan Nabi Muhammad saw.
Sejarah mencatat bahwa kepemimpinan Rasulullah saw berlangsung bukan tanpa hambatan. Ia menghadapi hambatan fisik maupun mental. Ia diejek, dicemooh, dihina dan disakiti. Pada malam berhijrah dari Mekkah ke Yatsrib, rumahnya dikepung oleh orang-orang beringas. Namun hambatan-hambatan itu tidak membuatnya putus asa dan gagal dalam melaksanakan tugas. Bahkan dalam waktu yang relatif singkat, ia mampu menyelesaikan tugasnya membina satu masyarakat yang sebelumnya dikenal sangat bobrok, serakah, fatalistik, anarkhis dan terpecah belah menjadi satu masyarakat yang ideal, berkeadilan dan sejahtera dunia dan akhirat.
Oleh karena itu, kita seharusnya bertanya, apa kunci kesuksesan kepemimpinan Rasulullah saw. selain karena petunjuk, bantuan, dan perlindungan Allah swt. Paling tidak ada beberapa hal yang perlu dikemukakan di sini.
Pertama, akhlak Nabi yang terpuji tanpa cela. Muhammad saw. sejak muda sebelum diangkat menjadi rasul terkenal lemah lembut, namun penuh daya vitalitas, berakhlak mulia, jujur, dan tidak mementingkan diri sendiri atau sukunya. Sejak muda, Muhammad saw. telah mendapat gelar al-amîn, karena kejujurannya. Karena kejujurannya pula, ia mendapat kepercayaan dari Khadijah yang kemudian menjadi istri dan pendukungnya untuk membawa dagangannya ke Syria. Karena terkenal jujur dan keyakinan tidak akan berpihak, maka majlis Hilf al-Fudhul mempercayakan kepadanya untuk memutuskan siapa yang akan meletakkan hajar aswad pada tempatnya setelah Kakbah selesai direnovasi.
Kedua, karakter Nabi yang tahan uji, tangguh, ulet, sederhana dan bersemangat baja. Rasulullah saw. walaupun sejak lahir sudah dalam keadaan yatim, dan lahir dari kalangan suku yang terkemuka dan cucu dari pimpinan suku, tetapi ia tidak mau hidup manja dan menggantungkan hidupnya kepada orang lain. Sejak kecil, ia ikut menggembalakan ternak keluarga dan pada usia dua belas tahun, ikut membantu pamannya berdagang, melawat ke Syria, satu perjalanan sulit dan cukup berbahaya pada waktu itu. Sikap percaya diri dan pengalaman hidup yang penuh perjuangan telah menggembleng dirinya menjadi seorang pemimpin yang tidak akan surut dalam perjuangan.
Ketiga, sistem dakwah Nabi yang menggunakan metode imbauan yang diiringi dengan hikmah kebijaksanaan. Nabi menyeru manusia agar beriman, berbuat yang shaleh dan mencegah kemungkaran tanpa unsur paksaan sedikitpun. Allah swt sendiri memerintahkan, La ikrâha fî al-dîn (tidak ada paksaan dalam agama). Ketika Nabi berhasil merebut kota Mekkah dan memegang pucuk pimpinan, Nabi tidak melakukan tindakan balasan apapun terhadap orang-orang yang pernah mengejek, mencemooh, dan menyakitinya.
Keempat, tujuan perjuangan Nabi adalah sangat jelas yakni ke arah penegakan keadilan dan kebenaran serta menghancurkan yang batil, tanpa pamrih kepada harta, kekuasaan dan kemuliaan duniawi. Nabi menolak tawaran para pemuka Quraisy Jahili untuk menukar gerak perjuangannya dengan harta, tahta, dan wanita.
Kelima, prinsip persamaan derajat. Nabi dalam pergaulan sehari-hari, bersikap sama terhadap semua orang. Tutur sapanya, lemah lembutnya, senyum manisnya, tidak berbeda antara satu dengan yang lain. Antara yang kaya dan yang miskin, antara yang lemah dan yang kuat, antara musuh dan sahabat. Ia tidak pernah menghardik, menghina, atau bermuka masam kepada siapapun.
Keenam, prinsip kebersamaan. Nabi dalam menggerakkan orang berbuat tidak hanya memberikan perintah, tetapi ia sendiri ikut terjun memberikan contoh. Ketika masyarakat Madinah membangun masjid Kubah yang sekaligus pula akan menjadi tempat kediamannya, ia ikut menyingsingkan lengan baju dan jubahnya untuk mengangkut tanah liat yang akan dijadikan sebagai dinding masjid.
Ketujuh, mendahulukan kepentingan dan keselamatan pengikut atau anak buah. Ketika sikap permusuhan orang-orang Quraisy Jahili sudah sampai pada tahap sadistis, Nabi memerintahkan sebagian kaum muslimin berhijrah ke Abbesynia, Habasyah, demi keselamatan iman dan fisik mereka, sedangkan Nabi sendiri beserta beberapa orang sahabat lain termasuk Abu Bakar, Umar, dan Ali tetap tinggal di Mekkah menghadapi segala macam cobaan dan resiko.
Kedelapan, memberi kebebasan berkreasi dan berpendapat serta pendelegasian wewenang. Nabi bukan pemimpin otokratis dan militeristis. Selain wewenang kerasulan yang hanya diperuntukkan bagi dirinya oleh Allah swt., wewenangnya selaku pemimpin umat dan negara sebagian ada yang didelegasikan kepada pejabat bawahannya. Selain itu, nabi memberikan kebebasan berpendapat kepada sahabat yang diangkat menduduki suatu jabatan.
Kesembilan, Nabi adalah pemimpin kharismatis dan demokratis. Muhammad saw memang orang yang terpilih untuk ditugaskan sebagai rasul. Karena itu, kepadanya dikaruniakan kharisma yang memikat dan memukau. Gerak dan langkahnya terlihat indah. Tutur katanya menggetarkan hati dan terasa sejuk. Kekuatan kharismatis yang ia peroleh tidak dibangun melalui jalan pengkultusan atau menempuh upaya-upaya tertentu. Kewibawaan yang dimilikinya bukanlah kewibawaan semu, tetapi kewibawaan murni yang lahir dari kebenaran dan kemurnian misi yang diembannya. Kepatuhan orang kepada dirinya bukanlah karena terpaksa atau takut, tetapi karena rela. Orang patuh kepada perintah dan larangannya yang hampir seluruhnya berasal dari Allah swt. Bukan hanya ketika berada di depannya, tetapi juga ketika sendirian dan bersembunyi.
Kepemimpinan rasul juga bertipe demokratis, suatu tipe kepemimpinan yang dikehendaki dan dianggap ideal pada zaman modern ini. Sesuai dengan perintah Allah swt., rasul selalu bermusyawarah dalam hal-hal yang mengatur hubungan antar manusia, mu’âmalah atau hal-hal yang bersifat duniawi, yang tidak ada ketentuan langsung dari Allah swt.
Sifat demokratis kepemimpinan nabi ini ditunjukkan pula oleh sikapnya yang terbuka terhadap kritik dan mendengar pendapat dan saran orang lain. Sikap mendengar pendapat dan saran orang lain ditunjukkan oleh hadis yang menyatakan, “Terimalah nasehat walaupun datang dari seorang budak hitam.”

Kesimpulan
Berbagai informasi tentang sejarah hidup Nabi Muhammad saw. yang telah diungkapkan di atas memberi pelajaran kepada kita bahwa sebuah misi apapun, termasuk juga misi agama, dapat berhasil bila didukung oleh SDM-SDM yang cukup handal yang memiliki sifat-sifat seperti Nabi saw. Yang terpenting dari itu semua adalah bahwa Nabi dapat berhasil karena empat hal: 1) karakter Nabi yang mulia dan terpuji; 2) perjuangannya yang dilakukan terus-menerus tanpa putus asa dan tanpa pamrih; 3) strateginya yang sangat jitu; dan 4) dan kedekatannya dengan Allah swt. memberikan kekuatan spiritual yang sangat dahsyat dalam rangka menopang dan mewujudkan tugas yang maha berat tersebut. Mudah-mudahan kita bisa meneladaninya. Âmîn yâ mujîb al-sa`ilîn.
Gagasan Pembaharuan Islam
Sayyid Ahmad Khan
Berdasarkan Teks dalam Zu’amâ` al-Ishlâh
fî al-‘Ashr al-Hadîts, Karya Ahmad Amîn)

Oleh: Dr. Ali Masrur, M.Ag.

Dalam buku Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan,1 ketika berbicara tentang pembaharuan di Kerajaan Utsmani, Harun Nasution menyebutkan tiga golongan pembaharuan yang muncul di Turki. Mereka adalah golongan Barat, Islam dan nasionalis. Golongan Barat berpendapat bahwa kelemahan dan kemunduran Turki disebabkan oleh kebodohan dan kemunduran orang Turki sendiri. Berbagai tradisi dan institusi lama yang sudah ketinggalan zaman, mata yang tidak mau melihat dan akal yang malas berpikir adalah hal-hal yang menjadi penyebab kemunduran orang Turki. Di hadapan mereka terdapat selubung yang menutupi mata dan pikiran mereka. Selubung itu tiada lain adalah syariat yang telah mengungkung segala segi kehidupan bangsa Turki. Menurut golongan ini, untuk menyembuhkan penyakit-penyakit ini, bangsa Turki harus mencontoh Barat karena Barat adalah guru. Sebagai murid yang baik, bangsa Turki harus mencintai guru mereka dan sebagai konsekwensinya mereka mestinya mencintai pengetahuan dan kemajuan yang telah dicapai oleh peradaban Barat. Bagi mereka, peradaban hanya satu, yakni peradaban Barat yang harus ditiru dan diambil oleh bangsa Turki.2
Lawan dari golongan Barat adalah kelompok Islam. Kelompok ini berpendapat bahwa sebab dari kemunduran bangsa Turki bukanlah syariat karena agama tidak pernah menjadi penghambat kemajuan. Bagi mereka, penyebab dari kelemahan orang Turki adalah tidak diterapkannya syariat di Kerajaan Utsmani. Oleh karena itu, obatnya adalah pemberlakuan syariat di segala aspek kehidupan bangsa Turki. Kelemahan lainnya adalah adanya golongan Barat yang suka meniru kebudayaan Barat tanpa reserve. Secara tegas, golongan Islam menuduh golongan Barat telah melakukan gerakan westernisasi.3
Golongan nasionalis sebagai kelompok ketiga berpendapat bahwa kelemahan bangsa Turki disebabkan oleh keenggganan umat Islam untuk mengakui adanya berbagai perubahan dan perkembangan dalam kehidupan mereka. Sebagai akibatnya, mereka merasa tidak perlu melakukan reinterpretasi atas berbagai ajaran Islam. Sebab lainnya adalah hilangnya kebudayaan nasional Turki karena dikalahkan dengan peradaban Islam. Cara menyembuhkannya adalah dengan menghilangkan berbagai institusi lama yang dipandang tidak perlu karena peradaban Islam yang mengembangkan institusi-institusi itu juga telah m\engalami kemunduran. Meskipuh demikian, kebudayaan nasional yang akan dihidupkan kembali harus dijiwai oleh semangat Islam. Golongan ini tidak setuju denngan golongan Barat yang ingnin mencontoh Barat dalam segala hal. Unsur-unsur peradaban barat yang posistif dapat digunakan sebagai model untuk membentuk kebudayaan nasional Turki moderen. Kebudayaan nasional ini bukanlah syariat, bukan pula kebudayaan Turki sebelum Islam dan bukan pula kebudayaan Barat.4
Di India pada awal abad sembilan belas hingga pertengahan abad dua puluh muncul beberapa tokoh dan gerakan pembaharuan Islam. Di antara tokoh-tokoh yang melancarkan pemikiran-pemikiran pembaharuan itu adalah Sayyid Ahmad Khan (1817-1888), Sayyid Amir Ali (1849-1928), Maulana Muhammad Ali (1878-1931), Muhammad Iqbal (1876-1938), Muhammad Ali Jinnah (1876-1915), dan Abul Kalam Azad (1888-1958).5
Di antara para pembaharu yang disebut di atas, Ahmad Khan adalah tokoh yang memiliki pandangan yang luas dan sekaligus liberal dalam menyuarakan gagasan-gagasan pembaharuannya. Jika kita menggunakan tiga kategori yang diajukan Harun Nasution tentang aliran pembaharuan Islam di Turki untuk menyoroti pemikiran pembaharuan Sayyid Ahmad Khan, maka akan timbul pertanyaan, apakah Ahmad Khan termasuk golongan Islam, Barat, atau Nasionalis. Persoalan itulah yang akan dicari jawabannya dalam tulisan berikut ini.
Biografi Sayyid Ahmad Khan
Meskipun bukan merupakan sebuah keharusan untuk membicarakan biografi seorang tokoh jika kita mengkaji pemikirannya,, tetapi setidak-tidaknya latar belakang kehidupannya membuat para pembaca lebih mudah untuk memahami ide-idenya. Bagaimanapun juga, sebuah pemikiran merupakan respon terhadap tantangan zaman yang dialami dan dihadapi oleh seorang pemikir. Oleh karena itu, pengalaman hidupnya menjadi tidak dapat dipisahkan dengan pemikirannya.
Sayyid Ahmad Khan b. al-Muttaqi b.. al-Hadi al-Hasani al-Dahlawi dilahirkan pada tanggal 17 Oktober 1817 M/1232 H di kota Delhi. Nenek moyangnya yang berasal dari Iran sangat terkenal di medan perang. Mereka menganggap dirinya memiliki karamah karena masih merupakan keturan Nabi Muhammmad saw. kakek Ahmad Khan yang pada mulanya menjadi panglima perang di kemudian hari diberi kedudukan agamis semi-hakim oleh kaisar Mughal.
Ayah Ahmad Khan yang bernama al-Muttaqi adalah seorang sufi dan pemimpin agama yang karena keturunan sayyid maka ia berpengaruh besar dan sangat dihormati oleh raja Mughal saat itu, Akbar Syah II. Ayahnya adalah orang yang dingin, suka berterus terang, pandai memanah dan berenang, serta sangat erat hubungannya dengan Syaikh Ghulam Ali Naqshabandi Mujaddidi, seorang wali setempat yang sangat terkenal. Hubungan Syaikh Ghulam Ali dengan keluarga al-Muttaqi begitu dekatnya sehingga Syaikh Ghulam Ali yang tidak dikaruniai anak biasa mengatakan, “Anak-anak Muttaqi seperti anak saya sendiri.” Pada saat Ahmad Khan lahir, ayahnya membawanya kepada syaikh tersebut dan diberikan nama Ahmad olehnya. Ketika Ahmad menginjak usia sekolah, pada mulanya ia dibawa kepada syaikh itu untuk diajarkan huruf Arab. Dalam suasana agamis yang meliputi ayahnya dan Syaikh Ghulam Ali, Ahmad kecil berkembang menjadi anak yang taat pada agama.6
Pemahamannnya yang mendalam tentang persoalan-persoalan kenegaraan dan perhatiannya pengetahuan dan peradaban Barat, ia banyak dipengaruhi oleh kakek dari pihak ibunya, Khwaja Fariduddi, yang kraung lebih selama delapan tahun menjadi perdana menteri diistana Mughal. Khwaja Fariduddin meninggal dunia sewaktu Ahmad Khan masih kanak-kanak. Namun pengaruh yang diitanamkannya untuk membentuk kebiasaan dan watak kepada cucunya sungguh tidak kecil. Karena bapak dan ibunya tinggal di rumah kakeknya itu, maka Ahmad Kkahan yang cerdas itu dappat melihat dari dekat kehidupan sehari-harai dan latar belakang sosilan dan politik dari seorang Menteri Mughal. Di kemudian hari, Ahmad Khan menulis bipografi Khwaja Fariduddin, yang tidak hanya menunjukkan sikap penghormatan kepada kakeknya, tetapi juga menyiratkan suasanan kebahagiaan, kedisiplinan, dan kebersihan di masa kecilnya.7
Di masa kecilnya, diduga bahwa kekuatan intelektual Ahmad Khan berkembang sanngat lamban dan ppada wakktu kanak-kanak dan remaja, ia ditandai dengan pertumbuhan yang sangat kuat dan lebih aktif di luar rumah daripada kegiatan intelektual. Pendidikan yang diperolehnya di waktu kecil tampaknya tidak mendalam dan sistematis. Namun di bawah asuhan seorang ibu yang bijaksana, cerdas dan pandai dalam mendidik anak-nakanya, ia memperoleh pengetahuan yang cukup. Selain itu, ia mengembangkan cinta yang sebenarnya kepada belajar yang memungkinkannya untuk melengkapi pengetahuannya di waktu muda. Dalam perjalanan selanjutnya, ia tidak hanya menjadi pemimpin politik, tetapi juga pemimpin intelektual bagi rakyatnya.8
Ahmad Khan menjalani hidupnya dalam kesenangan dan kecukupan. Namun setelah kakeknya meninggal, kekayaan keluarganya mulai menurun. Lebih-lebih setelah ayahnya meninggal pada tahun 1838, ekonomi keluarganya semakin merosot. Ahmad Khan yang masih muda itu mulai mencari penghidupannya sendiri. Pada awalnya, ia diangkat sebagai juru tulis rendahan, tetapi setelah itu ia diangkat sebagai munsif (wakil hakim) di Fatihpur Sikri pada tahun 1841,9 kemudian dipindahkan di Bignaur. Karena jasa-jasanya kepada Inggris, pada tahun 1969 M, ia mendapat kehormatan pergi ke negeri Inggris untuk menyaksikan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di sana. Sekembalinya di India pada tahun 1870, kegiatannya untuk memajukan umat Islam India semakin meningkat. Ia menerbitkan majalah Tahdzîbul Akhlâq (1870), mendirikan sekolah dengan nama Muhammadan Anglo-Oriental College (1875), yang kemudian berkembang menjadi Universitas Aligarh. Kemudian ia diangkat sebagai anggota Dewan Legislatif selama empat tahun (1878-1882 M). Untuk melaksanakan ide pembaharuannya di bidang pendidikan, ia mendirikan sebuah lembaga yang bernama All India Muhammadan Education Confrence (1886) yang menyelengarakan pertemuan tokoh-tokoh pendidikan Islam di India setiap tahun.10
Selama hidupnya, Ahmad Khan menerima banyak penghargaan dari Kerajaan Inggris atas berbagai jasa dan prestasinya. Pada tahun 1864, ia diangkat menjadi anggota kehormatan dari Royal Asiatic Society di London karena keahliannya yang monumental di bidang sejarah yang ditulis dalam bukunya, Athar al-Sanadid (1847), hasil penelitiannya tentang arkeologi di India dan sekitarnya.11 Pada tahun 1886, ia dianugerahi gelar kebangsaan Inggris (Sir) dan pada tahun berikutnya (1888) ia memperoleh gelar Doktor HC dari Universitas Edinburg di bidang ilmu hukum.
Selain sebagai seorang mujaddid di bidang keagamaan dan pendidikan, Ahmad Khan juga seorang penulis yang produktif. Karangannya berkisar tentang persoalan sejarah dan keagamaan. Tidak kurang dari 36 karyanya telah diterbitkan. Di bidang sejarah, selain buku Athar al-Sanadid (1847) yang telah disebutkan di atas, karyanya yang lain adalah Jam-I Jam (1840) yang berisi sejarah ringkas keluarga raja-raja Mughal sejak berdirinya hingga rajanya yang terakhir, Sultan Bahadur Syah II dan Essays on the Life of Muhammad (1870). Sementara karya-karyanya di bidang keagamaan yang terpenting adalah: Tafsîr al-Qur`ân yang terbit ppada tahun 1880 (jilid I), 1882 (jilid II), 1885 (III), 1888 (IV), 1892 (V) dan 1895 (VI), Ibthâl al-Ghulâm (1890) tentang penghapusan perbudakan dalam Islam, Tabyîn al-Kalâm (1862) tentang Bibel dan persoalan lainnya. Pada tanggal 27 Maret 1888, Sir Sayyid Ahmad Khan wafat setelah menderita sakit beberapa lama pada usia 81 tahun dan dimakamkan di Aligarh.12

Gagasan pembaharuannya di bidang pendidikan dan keagamaan
Sayyid Ahmad Khan memandang Inggris sebagai musuh yang terhormat dan berperadaban tinggi. Menentang kekuasaan Inggris tidak membawa kebaikan bagi umat Islam India, bahkan membuat Umat Islam India tetap mundur dan jauh ketinggalan dari masyarakat Hindu India. Oleh karena itu, untuk memajukan umat Islam India, Ahmad Khan menganjurkan upaya saling memahami di antara keduanya. Dengan demikian, umat Islam India dapat belajar dan mengambil hal-hal yang positif dari bangsa Inggris untuk kemaslahatan umat. Dan jika umat Islam telah mengetahui hak-haknya, maka pastilah mereka akan menuntut hak-hak itu.13
Inilah perbedaan Sayyid Ahmad Khan dengan Sayyid Jamaluddin al-Afghanî dalam sikapnya terhadap Inggris dan kolonialisme. Al-Afghani menganjurkan untuk membenci Inggris dan memusuhinya sekuat tenaga. Sementara Ahmad Khan lebih suka bekerja sama dengan bangsa Inggris demi kemajuan India. Oleh karena itu, upaya saling memahami antara bangsa India dan Inggris merupakan masalah yang pertama dan utama. Ahmad Khan tidak henti-hentinya memberikan pemahaman kepada pihak Inggris bahwa mereka memiliki kewajiban untuk memajukan dan membangkitkan bangsa yang mereka pimpin. Mereka tidak hanya berkewajiban memajukan proyek-proyek fisik material demi pengentasan kemiskinan bangsa India, tetapi juga harus memajukan pikiran mereka dan membebaskannya dari belenggu kebodohan.
Sikap semacam ini, tentu lebih dekat dengan sikap Muhammad ‘Abduh. Keduanya sama-sama berpendapat bahwa reformasi yang sebenarnya adalah reformasi nalar disertai dengan perbaikan moral dan peradaban. Bagi keduanya, kemerdekaan tidak akan diperoleh oleh bangsa yang bodoh dan terbelakang. Oleh sebab itu, tiang kemeredekaan tiada lain adalah ilmu pengetahuan, baik ilmu pengetahuan umum maupun agama. Ahmad Khan selanjutnya mengajak bangsa India untuk menguasai segala ilmu pengetahuan untuk membangun sebuah peradaban yang megah. Dengan ilmu pengetahuan itu, akal bangsa India menjadi tercerahkan dan tidak terbelenggu. Bagi Ahmad Khan, agama tidak melarang umatnya untuk mempelajari dan mendalami ilmu pengetahuan, tetapi justru agama membangkitkan dan mendorong umatnya untuk berfikir dan merenungkan segala ciptaan Tuhan.
Ahmad Khan dan ‘Abduh mengamati bahwa India dan Mesir berada di bawah kekuasaan Inggris yang sangat kuat. Mereka memiliki gudang-gudang senjata dan unggul dalam ilmu pengetahuan dan politik. Tidak mungkin bangsa India dan Mesir mampu melawannya. Mereka dapat melakukan perlawanan jika mereka bersatu. Namun mana mungkin mereka bersatu, sementara mereka adalah orang-orang bodoh dan sekaligus rendah moralnya.14 Lalu Ahmad Khan seolah bertanya-tanya, apa sebab bangsa India terbelenggu dalam kebodohan, kesempitan pikiran, dan sekaligus terjerembab dalam kemiskian? Ahmad Khan kemudian menarik kesimpulan bahwa problem mendasar yang harus segera diatasi adalah problem pendidikan.
Secara tegas Ahmad Khan membedakan antara pendidikan (tarbiyyah) di berbagai universitas yang didirikan oleh pemerintah Inggris dan pengajaran (ta’lîm) di berbagai sekolah tradisional di India. Sebagaimana terdapat dalam uraiannya di bawah ini:
Anak-anak di sekolah Inggris dididik dan diajarkan peradaban, sementara di sekolah-sekolah India, mereka hanya belajar. Sangat jauh perbedaan antara pendidikan dan pengajaran. Para pemuda di berbagai perguruan tinggi India kehilangan moralitasnya karena tinggal di tengah kota yang menggoyahkan (moral mereka). Di universitas-universitas India ini, tidak ada perhatian pada moral, etika, dan agama. Para guru berkeyakinan bahwa tugas mereka selesai dengan selesainya proses pengajaran. Cita-cita para pemuda hanya dibatasi oleh tugas-tugas dari lembaga tersebut tanpa memikirkan tugas-tugas mereka sendiri dan tugas-tugas untuk umatnya.”15

Dari sini, ia mulai meletakkan dasa-dasar dan metode-metode pendidikan yang diinginkannya. Berdasarkan pengalamannya ketika meninjau kemajuan dunia pendidikan di Universitas Cambridge dan Oxford, Inggris, Ahmad Khan mendambakan umat Islam dapat mendirikan universitas semacam itu. Pada tahun 1975, Ahmad Khan mendirikan Muhammadan Anglo Oriental College (MAOC) sebagai pengembangan ide pembaharuan di bidang pendidikan. Atas permintaannya, pemimpin MAOC yang pertama adalah seorang intelektual Inggris, Mr. Thedora Back. Sejak tahun 1879, MAOC dikelola seperti Collage di Cambridge. Kebanyakan pimpinan dan staf pengajarnya berbangsa Inggris dan bahasa pengantarnya adalah bahasa Inggris.16 Tujuan didirikannya MAOC antara lain: pertma, memberikan pengetahuan tentang peradaban barat dan Timur tanpa sikap fanatis dan statis; kedua, memberikan kehidupan kampus yang kondusif sehingga para pelajarnya tidak dikhawatirkan terpengaruh oleh budaya kota yang membahayakan iman dan kepribadian mereka; dan ketiga memberikan pendidikan terpadu antara pendidikan, penalaran, pendidikan jasmana, dan pendidikan moral.17 Pada tahun 1886, ia mendirikan All India Muhammadan Educational Confrence, suatu lembaga yang memhimpun para intelektual muslim India dan mengadakan seminar setahun di kota-kota tertentu di bawah pimpinan Ahmad Khan senndiri. Foorum seminar banyak membicarakan berbagai persoalan sosial umat Islam, terutama masalah pendidikan.18
Sampai di sini tampak jelas bahwa pembaharuan Ahmad Khan di bidang pendidikan sangat dipengaruhi oleh model pendidikan di Barat, khususnya pendidikan di Inggris. Ia tidak pernah melihat adanya pertentangan antara kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban di Barat dengan nilai-nilai Islam. Sebaliknya, ia melihat bahwa tidak ada pertentangan antara Islam dan peradaban Barat.19 Ia sangat kagum dengan tradisi keilmuan di Barat, khususnya di Inggris, yang sedemikian maju. Model dan metode pendidikan yang dicanangkannya lebih merupakan integrasi antara nilai-nilai Islam dengan peradaban Barat yang positif. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa Ahmad Khan termasuk ke dalam golongan Barat, yakni aliran pembaharuan yang ingin menjadikan kemajuan peradaban Barat sebagi coontoh dan model pembaharuannya.
Berbagai lembaga pendidikan yang didirikan oleh Ahmad Khan telah berhasil meluluskan generasi muslim yang baru dan berperadaban tinggi serta dibekali dengan wawasan yang luas dan sikap toleran dalam beragama. Para lulusannya yang tersebar di penjuru India membawa ajaran-ajaran Ahmad Khan dan mengajarkannya ke seluruh India. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, nama Aligarh tidak hanya menunjukkan sebuah universita, tetapi juga menunjukkan sebuah model nalar yang tercerahkan dan nilai moral dan sosial yang tinggi.20
Ahmad Khan juga melalukan pembaharuan di bidang keagamaan. Dalam masalah agama, umat Islam mengalami stagnasi dalam pemikiran agama serta tidak berorientasi pada kehidupan nyata. Mereka hanya menerima pelajaran Islam tradisional yang jumud dan membawa kepada sikap fatalisme. Para ulama tradisional tidak mau menerima kemajuan ilmu pengetahuan dan kebudayaan Barat yang dibawa oleh Inggris. Bahkan masyarakat India diisolasi dengan menyatakan budaya Barat sebagai “kebudayaan kafir”. Sebagai akibatnya, umat Islam India enggan memasuki sekolah-sekolah yang dibuka oleh pemerintahh Inggris karena khawatir iman dan akhlak merekka tterganggu. Sementara di pihak lain, golongan Hindu banyak memanfaatkan untuk bersekolah di sekolah-sekolah tersebut sehingga dapat melahirkan orang-orang pandai yang mampu menduduki jabatan penting dipemerintahan. Sedangkkan golongan Islam tidak dapat memanfaatkan lowongan jabatan tersebut disebabkan oleh kebodohannya sendiri.21
Pembaharuan Ahmad Khan di bidang pemahaman ajaran agama sungguh sangat liberal pada saat itu. Pembaharuannya tidak hanya mencakup masalah Quran dan hadis, tetapi juga masalah teologi dan hukum Islam. Mengenai Quran, Ahmad Khan berpendapat bahwa mukjizat Quran terletak pada maknanya, bukan pada lafazhnya. Karena yang diturunkan melalui hati nabi adalah makna Quran sedangkan lafazhnya berasal dari Nabi Muhammad saw.22 Sebagai kalam Tuhan, Quran tidak mungkin bertentangan dengan hukum alam karena perkataan Tuhan tidak mungkin bertentangan dengan perbuatan Tuhan.. Hukum alam yang dikenal sebagai natural laws di Barat dalam Quran disebut sebagai sunnatullah yang tidak mungkin berubah. Ilmu Pengetahaun di Barat maju karena para ilmuwan barat mampu menemukan hukum-hukum alam yang berlaku tetap.
Mengenai hadis, Ahmad Khan menerimannya dengan sangat kritis. Ia mengkritik tajam metode kritik hadis klasik dan akhirnya menyimpulkan bahwa hanya hadis yang berkaitan dengan masalah spiritual saja yang relevan dengan muslim kontemporer. Hadis-hadis yang terkait dengan persoalan duniawi tidaklah mengikat. Tanpa menolak otoritas sunnah sama sekalai, ia sangat membatasi ruang lingkuppnya, mengimbau untuk mencari mmetode baru guna menilainya serta menekankan posisinya yang subordinat dari Quran.23
Dalam masalah hukun, Ahmad Khan berpendapat bahwa yang menjadi dasar bagi sistem perkawinan dalam Islam adalah sistem monogami dan bukan sistem poligami sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ulama tradisional. Poligami hanyalah pengecualian bagi sistem monogami. Poligami sama sekkalai tidak dianjurkan, tetapi dibolehkan dalam kasus-kasus tertentu. Hukum potong tangan bagi pencuri bukan merupakan hukum yang wajib dijalankan,, tetapi hanya merupakan hukum yang maksimal yang dapat dijatuhkann dalam keadaan tertentu. Perbudakan dalam Quran hanya terbatas pada hari-hari pertama perjuangan Islam. Setelah pembukaan kota Mekkah, perbudakan tidak diperbolehkan lagi. Tujuan doa adalah merasakan kkehadiran Tuhan ialah merasakan kehadiran Tuhan. Jadi, doa hanya diperlukan untuk ketentraman jiwa. Ia menolak anggapan bahwa tujuan doa adalah meminta sesuatu dari Tuhan dan Tuhan akan mengabulkan permintaan tersebut karena kebanyakan doa tidak dikabulkan Tuhan.24
Ahmad Khan menyerang sikap taqlid umat Islam terhadap pendapat-pendapat para ahli hukum masa lampau. Menurutnya, sumber ajaran Islam hanyalah Quran dan hadis. Pendapat umat Islam di masa lampau tidak mengikat generasi Islam sekarang. Sebagai gantinya, ia menganjurkan ijtihad dengan menggunakan ilmu pengetahuan moderen sebagai bekalnya. Masyarakat senantiasa mengalami perkembangan dan perubahan. Oleh karena itu, adalah kewajiaban setiap generasi untuk memikirkan kembali hukum syariat yang lebih sesuasi dengan tuntutan zaman.25
Selain itu, Ahmad Khan juga sangat menghargai akal dan kebesan bertindak bagi manusia. Akal adalah pemberian Tuhan yang tidak diberikan kepada makhluk selain manusia. Manusia harus menggunakan akal sebaik-baiknya karena hanya dengan cara itu manusia mencapai kemajuan dalam hhidupnya. Baginya, manusia memiliki kebebsan berkehendak dan berindak (free will dan free act). Ia menolak adanya takdir yang telah ditentukan Tuhan bagi manusia karena hal itu bertentangan dengan kebebasan manusia yang harus bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Nasib manusia ditentukan oleh dirinya sendiri. Faham fatalisme telah menyebabkan kemunduran bagi rakyat India dan oleh karena itu paham tersebut harus diberantas.26
Pembaharuannya di bidang keagamaan juga banyak bersumber dari kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban Barat. Pandangannya tentang kedudukan akal yang begitu tinggi diilhami oleh kenyataan bahwa Barat dapat mencapai kemajuan pesat karena mereka menghargai akal dengan cara menggunakannya secara optimal. Demikian pula, ide-idenya tentang perlunya mempelajari hukum alam mengambil inspirasi dari pengalammnya bahwa orang-orang Barat mampu menemukan hukum-hukum alam dan kemudian memanfaatkannya untuk kesejahteraan umat manusia.

Kesimpulan
Analisis atas ide-ide pembaharuan Ahmad Khan tersebut di atas mengarah pada kesimpulan bahwa Ahmad Khan dapat dikategorikan sebagai seorang pembaharu yang beraliran Barat jika kita memakai kategorisasi Harun Nasution. Hal ini didukung oleh fakta bahwa Ahmad Khan adalah seorang pembaharu yang mengambil dan menerapkan unsur-unsur positif dalam peradaban Barat demi kemajuan umat Islam India. Lebih dari itu, ia ingin menyelaraskan nilai-nilai Islam dengan peradaban Barat, karena menurutnya, tidak ada pertentangan antara ajaran Islam dan peradaban Barat. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika model pendidikan yang didirikannya adalah model Barat dan bahasa pengantarnya pun bahasa Inggris. Dari data-data di atas tampak jelas bahwa dua bidang garapannya: bidang pendidikan dan bidang keagamaan dibangun kembali dengan cara memadukan antara substansi ajaran Islam dengan kemajuan ilmu pengetahun dan peradaban Barat. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Ahmad Khan adalah seorang pemikir pembaharu yang mampu menyatukan Islam dan Barat dalam sebuah konsep yang terpadu dan seimbang.


Daftar Pustaka

Ahmad Amîn. Zu’amâ` al-Ishâh fî ‘Ashr al-Hadîts. Beirut: Dâr al-Kitâb al-‘Arabî, Tanpa tahun.

Blumhardt. “Ahmed Khân”, dalam First Encyclopaedia of Islam 1913-1936. eds. M. Th. Houtsma, T.W. Arenold and Others. Leiden: Brill, 1987.

Brown, Daniel W. Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, terj. Jaziar Radianti dan Entin Sriani Muslim. Bandung: Mizan, 2000.

Departemen Agama R.I. Ensiklopedi Islam Indonesia. Artikel “Ahmad Khan, Sayyid (1817-1888)”. Jakarta: Departemen Agama R.I., 1992/1993.

Mukti Ali, A. Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan. Bandung: Mizan, 1996.

Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

Smith, Wilfred Cantwell. Modern Islam in India: A Social Analysis. New Delhi: Usha Publications, 1979.