Pendahuluan
Menyambut kemungkinan perubahan IAIN Bandung menjadi UIN Bandung, tampaknya memang perlu dan bahkan harus dilakukan diskusi-diskusi dan kajian-kajian serius tentang upaya-upaya penyatuan kembali ilmu agama dan ilmu umum. Hal ini perlu dilaksanakan agar perubahan IAIN menjadi UIN bukan hanya perubahan nama, tetapi lebih dari itu, ia merupakan perubahan paradigma keilmuan yang hendak ditawarkan kepada masyarakat untuk dikembangkan di UIN di masa depan. Disadari atau tidak pemisahan ilmu agama dan ilmu umum ikut andil dalam proses pemisahan agama dari berbagai aspek kehidupan. Agama seolah menjadi milik kyai dan santri; agama menjadi bahan ceramah di masjid dan majlis taklim, tetapi dunia di luar itu, bergerak terlalu cepat dan pesat meninggalkan para kyai dan santri. Agama akhirnya menjadi ritual tanpa makna (meaningless), karena tidak mampu lagi menggerakkan nurani pemeluknya. Pada gilirannya, agama tidak mampu lagi mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Mengapa semua ini terjadi? salah satu sebabnya adalah karena proses pemisahan agama dari kehidupan masyarakat kita telah terjadi selama berpuluh-puluh tahun. Mungkinkah proses ini dihentikan? Konon, Napoleon pernah mengatakan, tidak ada sesuatu yang mustahil dicapai di dunia ini, tetapi tidak ada sesuatu yang mudah diraih di dunia ini. Demi menyatukan ilmu agama dan umum itulah, tulisan ini sedikit mengungkap bagaimana pandangan Alquran tentang Epistemologi.
Tiga Sarana Memperoleh Pengetahuan
Ada tiga daya, menurut Alquran, yang dapat dipakai sebagai sarana untuk memahami kebenaran. Tiga daya itu adalah pikiran (al-fikr), akal (al-'aql) dan nurani (al-qalb, al-af`idah). Ketiga daya ini dipakai dalam konteks dan kapasitas yang berbeda, tetapi saling melengkapi dan dapat mengarah ke transendensi.
Proses pemahaman dengan menggunkan daya pikiran (al-fikr) terdapat dalam kurang lebih 16 ayat Alquran yang kesemuanya dipakai dalam kontkes alam dan manusia dalam dimensi fisiknya. Sedangkan yang memakai kata 'aql terdapat dalam kurang lebih 49 ayat, yang digunakan dalam konteks yang lebih luas, dan berkaitan dengan hal-hal yang bersifat konkret, material, spiritual, maupun yang bersifat ghaib. Adapun yang memakai kata al-qalb terdapat dalam kurang lebih 101 ayat yang pada umumnya dipakai dalam kaitannya dengan hal-hal ghaib dan spiritual saja.
Dengan demikian, baik sarana yang dipakai untuk mencapai kebenaran maupun kebenarannya sendiri itu berjenjang. Pertama, kebenaran yang berkaitan dengan hal-hal yang fisikal dan material saja, sebuah kebenaran yang dapat dipahami dan dikuasai dengan ratio; kedua, kebenaran berdimensi ganda, yaitu material dan spiritual, yang dapat dipahami dengan menggunakan 'aql; dan ketiga, kebenaran yang sepenuhnya berdimensi ghaib dan immaterial yang dapat dimengerti dengan menggunakan al-qalb. Singkatnya kebenaran pada alam semesta dan manusia yang bersifat fisikal dan material dikembangkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi; kebenaran dalam realitas material dan spiritual dikembangkan dalam filsafat Sedangkan kebenaran yang bersifat spiritual saja dikembangkan dalam ilmu agama.
Sampai di sini pertanyaannya adalah apakah tiga sarana yang disebutkan di atas di IAIN sudah benar-benar digali secara maksimal dan optimal untuk memperoleh pengetahuan dan kebenaran? Dan Apakah ilmu pengetahuan, filsafat dan agama sudah benar-benar diajarkan dan dikembangkan di lingkungan IAIN sebagai satu paket sajian yang tak dapat dipisahkan satu sama lain? atau malah seringkali terjadi kesalahpahaman antarketiganya?
Obyek Kajian Ilmu dan Orientasinya
Dalam Alquran dijelaskan pula bahwa ada tiga hal yang menjadi obyek kajian ilmu dan ketiganya merupakan kesatuan perwujudan dari tanda-tanda Tuhan. Tiga hal itu adalah:
1) Ayat-ayat Tuhan yang terdapat dalam alam semesta
2) Ayat-ayat Tuhan yang ada dalam diri manusia dan sejarah
3) Ayat-ayat Tuhan yang tersurat dalam kitab suci, seperti Alquran.
Dari sini, dapat dikatakan bahwa menurut Alquran, tiga daya yang dapat dipakai untuk memahamai kebenaran, yaitu al-fikr, al-'aql dan al-qalb merupakan satu kesatuan organik yang sifatnya berlapis dan berjenjang. Integrasi iptek, filsafat, dan agama sangat mungkin karena obyek kajiannya mempunyai kesatuan sumber, yaitu ayat-ayat Tuhan yang ada pada alam semesta diri manusia dan sejarah, serta yang tersurat dalam kitab suci. Integrasi ketiga tahapan tersebut sebenarnya merupakan wujud integrasi dari perpanjangan ayat-ayat Tuhan. Integrasi iptek, filsafat dan agama merupakan tuntutan realitas kehidupan itu sendiri di mana ketiganya dapat saling melengkapi. Jika iptek digunakan untuk memecahkan persoalan-persoalan yang bersifat teknis, operasional, maka filsafat memberikan landasan hakekat dan maknanya terhadap sesuatu hal, memberikan wawasan yang metataknis dan metafisik dan selanjutnya agama memberikan arah dan tujuan yang paling akhir dari hidup manusia agar semua proses itu berjalan sebagai bagian dari penghambaannya kepada Tuhan dalam dimensi spiritual.
Inilah maksud dari apa yang dikatakan oleh Kuntowijoyo bahwa ayat- ayat Alquran hendaknya dijadikan sebagai grand theory untuk menyelidiki dan meneliti ayat-ayat Tuhan yang terdapat pada alam, diri manusia dan sejarah. Sebaliknya, temuan-temuan ilmiah harus dipakai untuk menjustifikasi kebenaran kalam Tuhan yang tersurat dalam Alquran, seperti yang terdapat dalam ayat berikut ini:
sanurihim ayatina fi al-afaqi wa fi anfusihim hatta yatabayyana lahum annahu al-Haqq.
Awalam yakfi birabbika annahu 'ala kulli syay`in syahid
(Alquran; surat HAmim al-Sajdah; 53)
Akan Kami perlihatkan ayat-ayat Kami yang terdapat di berbagai ufuk dan dalam diri mereka sendiri sampai menjadi jelas bahwa ayat-ayat yang tersurat dalam Alquran adalah benar (al-haqq).
Jika penelitian ilmiah dilakukan dengan prosedur semacam itu maka muncullah para ilmuwan yang dalam Alquran disebut sebagai Ulul Albab, yakni orang-orang yang tidak hanya sekedar berdzikir dalam keadaan duduk, berdiri, dan berbaring, tetapi juga mereka berpikir, meneliti dan mengkaji alam semesta, diri manusia dan sejarah. Setelah mereka menemukan kebenaran melalaui alam raya ini merekapun mengatakan, "Rabbana ma khalaqta hadza batilan subhanaka fa qina adzab al-nar." (Wahai Tuhan kami, Engkau tidak menciptakan semua ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau maka peliharalah kami dari siksa api neraka).
Inilah orientasi keilmuan Islam yang akan dikembangkan di UIN nantinya. Jika orang Barat mengatakan science for the sake of science (ilmu untuk ilmu) atau l'art pour l'art (seni untuk seni) maka kita harus mengatakan science for the search of God (Ilmu untuk mencari dan menuju Tuhan). Karena itu, Cak Nur menulis buku yang berjudul Pintu Pintu Menuju Tuhan. Jika tidak demikian halnya, maka yang terjadi adalah sebaliknya, seperti dikatakan oleh Nabi yang bersenjata Muhammad saw.:
Man Yazdad 'ilmanlam yazdad hudan, lam yazdad min Allah illa bu'dan (Al-Hadits)
Artinya: Siapa yang bertambah ilmunya, tetapi tidak bertambah petunjuknya, maka ia akan semakin jauh dari Tuhan.
Dengan mengunakan bahasa agama, seperti dikatakan oleh A. Mukti Ali, bahwa ilmu itu untuk ibadah, bukan untuk berkuasa dan mengeksploitasi alam. Hal ini juga sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Muhammad Iqbal dalam The Reconstruction of Religious Thought in Islam:
Orang mukmin adalah cakrawala hanyut dalam dirinya
Orang kafir adalah dirinya hanyut dalam cakrawala
Jadi, ilmuwan yang benar adalah ilmuwan yang menggunakan ilmunya untuk mengarahkan masyarakatnya menuju ridha Tuhan dan bukan ilmuwan yang hanya tergiur oleh hawa nafsu duniawi dan kekuasaan sesaat.
Wa Allah A'lam bi al-Shawab
Tulisan ini terdapat dalam Buku Wahyu Memandu Ilmu.
Bandung: Gunung Djati Press, 2006
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar