Oleh Dr. ALI MASRUR, M.Ag.
ISLAM dan Kristen, keduanya adalah agama misioner, yakni agama yang memerintahkan para penganutnya untuk melakukan dakwah atau penginjilan keseluruh dunia sebagai tugas suci. Dalam Alquran Surat Ali Imran (3);19 dan 85, misalnya, dikatakan bahwa agama yang diterima di sisi Allah adalah agama Islam, dan jika seseorang mengikuti agama lain selain Islam, mereka tidak akan pernah diterima. Oleh karena itu, Islam harus disebarkan ke seluruh jagat raya. Demikian pula ayat penutup Injil St. Matius 28:19-20 memerintahkan Komisi Besar untuk mencari murid dari seluruh bangsa.
Perintah-perintah dari teks-teks suci ini mendorong para penganut masing-masing agama untuk mempromosikan, mendakwahkan, dan sekaligus menunjukkan kekayaan dan warisan agamanya kepada pemeluk agama lain. Sayangnya, dalam upaya memenuhi panggilan misi dan dakwah tersebut, aktivitas misioner Kristen di kalangan kaum Muslim dan aktivitas dakwahIslam di kalangan kaum Kristen sering kali menimbulkan gesekan-gesekan kecil hingga benturan-benturan yang lebih besar di kedua pihak. Fenomena menyedihkan ini menyebabkan kian bertambahnya ketegangan antarpenganut agama di berbagai belahan dunia dan pada saat yang sama menunjukkan betapa mendesaknya dewasa ini untuk dilakukan upaya-upaya menciptakan kondisisaling pengertian dan saling menghormati antara Islam dan Kristen.
Signifikansi dialog
Fenomena di atas, seperti kesalahpahaman, ketegangan, dan mungkin juga konflik antaragama membuat kita semua, tidak bisa tidak, harus melakukan dialog untuk mengurangi benturan-benturan tersebut, jika bukan meniadakannya. Di masa lalu hubungan antaragama ditandai dengan antagonisme polemik dan upaya untuk mengalahkan, menundukkan, dan menggaet pihak lain keagama kita. Hal ini disebabkan karena hubungan antaragama belum sering terjadi. Agama-agama saat itu hidup dalam suatu masyarakat yang relatif homogen, tertutup, dan belum mengenal dunia lain selain dunianya sendiri. Dalam keadaan demikian, agama-agama lebih mengembangkan sikap egosentrisme masyarakat yang beranggapan bahwa merekalah satu-satunya masyarakat yang beragama secara benar sedangkan agama-agama lain yang dianut oleh komunitas agama lain diklaim salah dan sesat.
Namun ketika kontak-kontak antaragama sering kali terjadi sejak tahun 1950-an, maka muncul paradigma dan arah baru dalam pemikiran keagamaan. Orang tidak lagi bersikap negatif dan apriori terhadap agama lain. Bahkan mulai muncul pengakuan positif atas kebenaran agama lain yang pada gilirannya mendorong terjadinya saling pengertian. Di masa lampau, kita berusaha menutup diri dari tradisi agama lain dan menganggap agama selain agama kita sebagai lawan yang sesat serta penuh kecurigaan terhadap berbagai aktivitas agama lain, maka sekarang kita lebih mengedepankan sikap keterbukaan dan saling menghargai satu sama lain.
Semua ini tidak bisa terwujud tanpa adanya dialog antarpemeluk agama secara intensif dan berkesinambungan. Tentu saja yang dimaksudkan dengan dialog disini bukanlah upaya mengonversi pihak lain untuk memeluk agama kita; bukan usaha menyatukan semua ajaran agama menjadi satu agama; bukan beradu argumentasi antarpelbagai pemeluk agama hingga ada yang menang dan ada yangkalah; dan bukan pula meminta pertanggungjawaban orang lain dalam menjalankan agamanya.
Dialog antaragama adalah pertemuan hati dan pikiran antarpemeluk berbagai agama dalam kedudukannya yang setaraf dan sederajat tanpa merasa lebih baik atau lebih tinggi daripada yang lain, serta tanpa tujuan yang dirahasiakan. Dialog lebih merupakan komunikasi antarpenganut agama dan jalan bersama untuk mencapai tujuan dan kerja sama dalam projek-projek yang menyangkut kepentingan bersama. Dialog semacam ini menuntut para peserta dialog untuk dapat menghormati, bersedia mendengar, tulus, terbuka, mau menerima pendapat orang lain, dan mau bekerja sama dengan orang lain.
Pada level ini, dialog mensyaratkan suatu kebebasan beragama sehingga setiap penganut agama bebas mendalami dan melakukan keyakinannya, serta menguraikan dan mengomunikasikan pengalaman keagamaannya kepada orang lain. Dialog semacam itu, kata Wilfred Cantwell Smith, akan membawa pada rekonsiliasi dan sekaligus dapat menumbuhkan sikap saling memahami, menghargai, dan menghormati satu sama lain, dan bukan saling mencurigai, meremehkan, dan sikap-sikap negatif lainnya.
Berbagai problem dialog
Meskipun demikian, dialog antarumat beragama bukanlah persoalan yang mudah dan lancar dalam kenyataannya. Tidak sedikit masalah-masalah dan tantangan-tantangan yang harus dihadapi dalam rangka mewujudkan projek ini. Salah satu masalah dalam komunikasi antaragama sekarang ini, khususnya diIndonesia, adalah munculnya sikap toleransi malas-malasan (lazy tolerance) sebagaimana diungkapkan P. Knitter. Sikap ini muncul sebagai akibat dari pola perjumpaan tak langsung (indirect encounter) antaragama, khususnya menyangkut persoalan teologi yang sensitif. Sehingga kalangan umat beragama merasa enggan mendiskusikan masalah-masalah keimanan. Tentu saja, dialog yang lebih mendalam tidak terjadi, karena baik pihak Kristen maupun Muslim sama-sama menjaga jarak satu sama lain. Masing-masing agama mengakui kebenaran agama lain, tetapi kemudian membiarkan satu sama lain bertindak dengan cara yang memuaskan masing-masing pihak. Yang terjadi hanyalah perjumpaan tak langsung, bukan perjumpaan sesungguhnya.
Sebab lain yang tak kalah pentingnya adalah masih adanya sikap saling mencurigai antarpenganut agama terhadap tujuan dan motif diadakannya dialog. Belakangan ini, sebagian besar dialog di berbagai tempat di dunia adalah atas inisiatif gereja, baik Katolik maupun Protestan. Dalam konteks itu, penganut agama lain merasa tidak yakin dengan motif dialog. Mereka khawatir bahwa dialog hanya merupakan cara terselubung dari umat Kristen untuk memasuki agama-agama non-Kristen. Karena kecurigaan itu, mereka menolak dialog dan, jika ikut, tentu dengan penuh kekhawatiran dan kecurigaan. Sikap menolak dialog ini juga terjadi di kalangan Kristen. Mereka beranggapan bahwa dialog antaragama hanya cocok untuk para guru besar universitas dan seminari, serta untuk para pejabat Vatikan dan Dewan Gereja Sedunia, dan tidak perlu dilakukan oleh para uskup, pastur, dan pendeta.
Ditambah lagi, masih ada kelompok-kelompok eksklusif di masing-masing agama. Di kalangan Islam, pemahaman agama secara eksklusif juga ada dan berkembang. Bahkan akhir-akhir ini, di Indonesia telah tumbuh dan berkembang pemahaman keagamaan yang dapat dikategorikan sebagai Islam radikal dan fundamentalis, yakni pemahaman keagamaan yang menekankan praktik keagamaan tanpa melihat bagaimana sebuah ajaran agama seharusnya diadaptasikan dengan situasi dan kondisi masyarakat. Mereka masih berpandangan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan dapat menjamin keselamatan menusia. Jika orang ingin selamat, ia harus memeluk Islam. Segala perbuatan orang-orang non-Muslim, menurut perspektif aliran ini, tidak dapat diterima di sisi Allah.
Pandangan-pandangan semacam ini tidak mudah dikikis karena masing-masing sekte atau aliran dalam agama tertentu, Islam misalnya, juga memiliki agen-agen dan para pemimpinnya sendiri-sendiri. Islam tidak bergerak dari satu komando dan satu pemimpin. Ada banyak aliran dan ada banyak pemimpin agama dalam Islam yang antara satu sama lain memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang agamanya dan terkadang bertentangan. Tentu saja, dalam agama Kristen juga ada kelompok eksklusif seperti ini. Kelompok Evangelis, misalnya, berpendapat bahwa tujuan utama gereja adalah mengajak mereka yang percaya untuk meningkatkan keimanan dan mereka yang berada "di luar" untuk masuk dan bergabung. Bagi kelompok ini, hanya mereka yang bergabung dengan gereja yang akan dianugerahi salvation atau keselamatan abadi.
Yang tidak kalah pentingnya adalah hambatan yang berasal dari faktor luar, seperti faktor politik. Faktor ini terkadang menjadi faktor penting, jika bukan yang paling penting di antara faktor-faktor lainnya. Bisa saja sebuah dialog telah dibangun dengan bersusah payah selama bertahun-tahun atau mungkin berpuluh-puluh tahun, dan dengan demikian kita pun hampir memetik buahnya. Namun tiba-tiba saja muncul kekacauan politik yang ikut memengaruhi hubungan antaragama dan bahkan memorak-porandakannya seolah petir menyambar yang dengan mudahnya merontokkan "bangunan dialog" yang sedang kita selesaikan.
Seperti yang sedang terjadi di negeri kita saat ini, kita tidak hanya menangis melihat political upheavels di negeri ini, tetapi lebih dari itu yang mengalir bukan lagi air mata, tetapi darah; darah saudara-saudara kita, yang mudah-mudahan diterima di sisi-Nya. Tanpa politik kita tidak bisa hidup secara tertib teratur dan bahkan tidak mampu membangun sebuah negara, tetapi dengan alasan politik juga kita seringkali menunggangi agama dan memanfaatkannya.
Prospeknya di masa mendatang
Walaupun berbagai hambatan menghadang jalan kita untuk menuju sikap terbuka, saling pengertian dan saling menghargai antaragama, saya kira kita tidak perlu bersikap pesimis. Sebaliknya, kita perlu dan seharusnya mengembangkan optimisme dalam menghadapi dan menyongsong masa depan dialog. Paling tidak ada tiga hal yang dapat membuat kita bersikap optimis. Pertama, pada beberapa dekade terakhir ini studi agama-agama, termasuk juga dialog antaragama, semakin merebak dan berkembang di berbagai universitas, baik didalam maupun di luar negeri. Selain di berbagai perguruan tinggi agama, IAIN dan Seminari misalnya, di universitas umum seperti Universitas Gajah Mada, juga telah didirikan Pusat Studi Agama-agama dan Lintas Budaya. Meskipun baru seumur jagung, hal itu bisa menjadi pertanda dan sekaligus harapan bagi pengembangan paham keagamaan yang lebih toleran dan pada akhirnya lebih manusiawi. Juga bermunculan lembaga-lembaga kajian agama, seperti Interfidei dan FKBA di Yogyakarta, yang memberikan sumbangan dalam menumbuhkembangkan paham pluralisme agama dan kerukunan antarpenganutnya.
Kedua, para pemimpin masing-masing agama semakin sadar akan perlunya perspektif baru dalam melihat hubungan antar-agama. Mereka seringkali mengadakan pertemuan, baik secara reguler maupun insidentil untuk menjalin hubungan yang lebih erat dan memecahkan berbagai problem keagamaan yang tengah dihadapi bangsa kita dewasa ini. Kesadaran semacam ini seharusnya tidak hanya dimiliki oleh para pemimpin agama, tetapi juga oleh parapenganut agama sampai ke akar rumput sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara pemimpin agama dan umat atau jemaatnya. Kita seringkali prihatin melihat orang-orang awam yang pemahaman keagamaannya bahkan bertentangan dengan ajaran agamanya sendiri. Inilah kesalahan kita bersama. Kita lebih mementingkan bangunan-bangunan fisik peribadatan dan menambah kuantitas pengikut, tetapi kurang menekankan kedalaman (intensity) keberagamaan serta kualitas mereka dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama.
Ketiga, masyarakat kita sebenarnya semakin dewasa dalam menanggapi isu-isu atau provokasi-provokasi. Mereka tidak lagi mudah disulut dan diadu-domba serta dimanfaatkan, baik oleh pribadi maupun kelompok demi target dan tujuan politik tertentu. Meskipun berkali-kali masjid dan gereja diledakkan, tetapi semakin teruji bahwa masyarakat kita sudah bisa membedakan mana wilayah agama dan mana wilayah politik. Ini merupakan ujian bagi agama autentik(authentic religion) dan penganutnya. Adalah tugas kita bersama, yakni pemerintah, para pemimpin agama, dan masyarakat untuk mengingatkan para aktor politik di negeri kita untuk tidak memakai agama sebagai instrumen politik dan tidak lagi menebar teror untuk mengadu domba antarpenganut agama.
Jika tiga hal ini bisa dikembangkan dan kemudian diwariskan kepada generasi selanjutnya, maka setidaknya kita para pemeluk agama masih mempunyai harapan untuk dapat berkomunikasi dengan baik dan pada gilirannya bisa hidup berdampingan lebih sebagai kawan dan mitra daripada sebagai lawan.
Penulis dosen Fakultas Ushuluddin dan Program Pascasarjana IAIN Sunan Gunung Djati Bandung. (Pikiran Rakyat, 10 Juli 2004)
Kamis, 16 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar